SETAHUN JOKOWI-JK

Menggantang Asap Pengadilan Ad Hoc HAM di Era Jokowi

Christie Stefanie & Suriyanto | CNN Indonesia
Selasa, 20 Okt 2015 16:21 WIB
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia banyak berharap kepada kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Masih banyak kasus dan perkara yang belum bisa diselesaikan.
Presiden Joko Widodo (kiri) menjawab sejumlah pertanyaan dari wartawan LKBN Antara, TVRI dan RRI Maulana ketika wawancara khusus di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (19/10). (ANTARA/Widodo S Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Diatur dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pengadilan Ad Hoc yang diharapkan sampai saat ini belum juga terwujud. Padahal sudah beberapa kasus pelanggaran HAM berat diselidiki dan direkomendasikan oleh Komisi Nasional HAM ke Kejaksaan Agung.

Setahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai belum ada tanda-tanda pengadilan ad hoc itu juga digelar. Bahkan upaya non-yudisial malah terus mengemuka.

Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas mengatakan,hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM sampai saat ini belum juga ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal jika Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan penyidikan, Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya bisa mengusulkan agar pengadilan ad hoc HAM dibentuk.
"Tapi pada tahap awal ini kelihatannya tidak ada tanda-tanda pemerintah menempuh cara itu karena kejaksaan agung belum menindaklanjutinya," kata Hafid kepada CNN Indonesia.

Komnas HAM sesuai dengan kewenangannya menurut Hafid selesai pada tahap penyelidikan. Dilanjutkan atau dihentikannya sebuah kasus pelanggaran HAM ke tingkat penyidikan menjadi tanggung jawab sepenuhnya Kejaksaan Agung.

Namun rezim yang baru setahun berkuasa saat ini, sudah menyatakan ingin menempuh jalur nonyudisial. Hafid menyebut, mekanisme nonyudisial ini jamak terjadi di wilayah bekas perang seperti Kamboja, Amerika Latin dan Sudan.

Hafid melanjutkan, salah satu modal utama untuk menggelar pengadilan HAM adalah kemauan politik pemerintah. "Jadi kalau mau diselesaikan melalui mekanisme yudisial, harus dikondisikan semua," kata Hafid.

Jika beberapa unsur yang terlibat enggan melalui jalur yudisial, hal tersebut tentu sulit ditempuh.Ia mencontohan kasus pelanggaran HAM 1965 di mana TNI menolak adanya pengadilan dan juga menolak minta maaf pada korban.  "Jangan sampai rencana pengadilan HAM menimbulan persoalan baru," ujar Hafid.
Menurut mantan Ketua Komnas HAM ini, jika memang Presiden Joko Widodo berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, harus diperkuat dulu institusi demokrasi dan peradilan yang ada secara lebih profesional.

Selain itu, Hafid juga berharap Jokowi bisa merapikan aturan dan acuan legislasi penanganan HAM sesuai dengan standar internasional. Misalnya dengan melihat dari perspektif korban. "Jangan merasa ditelantarkan dan berikan hak keadilan," katanya.

Empat tahun tersisa saat ini harus benar-benar dimanfaatkan oleh Jokowi menangani kasus HAM selain kasus kesejahteraan rakyat.

"Saya kira banyak yang bisa diselesaikan, berdoa saja," katanya.

Komnas HAM saat ini sudah menyelesaikan 10 penyelidikan kasus pelanggaran HAM. 10 kasus tersebut adalah Peristiwa 1965/1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Tanjung Priok 1984-1985, Peristiwa Talang Sari 1989, Penghilangan Orang secara Paksa 1997, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Papua 2001, Peristiwa Abepura, dan Peristiwa Timor Timur. (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER