Jakarta, CNN Indonesia -- Kabut asap pekat mengepung berbagai wilayah di Indonesia enam bulan terakhir, membawa derita tiada tara bagi warga. Mereka menjerit, meminta pemerintah segera cepat bertindak untuk menyudahi bencana ini.
“Tuan Presiden, tidak banyak yang kami minta di satu tahun pemerintahanmu. Cuma satu permintaan: kembalikan langit biru Indonesia!” kata seorang warga Sumatra, Iwan.
Seruan serupa telah lama berdengung di media sosial. Kisah-kisah memilukan korban kabut asap berseliweran di jagat maya, mencoba menyadarkan semua pihak bahwa ini bukan bencana biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setengah tahun bukan waktu yang singkat untuk hidup di tengah kepungan asap. Titik api yang semula terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia kini bahkan menyebar hingga ke ujung timur, yakni Papua.
Salah satu warga Pekanbaru, Riau, Afni Zulkifli menceritakan pengalamannya hidup di antara asap. "Asap menyerbu hingga ke kamar tidur, dan seperti biasa kami terbatuk-batuk tersedak asap," kata dia.
Asap yang ia hirup, ujar Afni, terasa tak sekadar asap, namun mengandung serbuk-serbuk yang ikut memasuki rongga hidung. Ada rada pedas saat dia menghirup asap itu. Pedas dan panas juga terasa saat napas diembuskan keluar.
"Partikel serbuk sisa kebakaran mengisi paru-paru dengan kasar. Berat saat dihirup, tapi lebih berat lagi saat dilepas. Bernapas harus pelan-pelan jika tak ingin dada terasa ditekan,” kata Afni.
Sulitnya bernapas itu, ujar Afni, dirasakan oleh dia dan warga lain meski misal mereka tinggal di rumah yang dilengkapi alat pendingin atau AC.
Bila kesulitan bernapas dirasakan oleh warga yang berusia 30 tahun, kata Afni, apalagi bayi dan anak-anak yang amat membutuhkan udara bersih untuk otak dan paru-paru mereka.
Afni sendiri memiliki seorang anak perempuan. "Sebagai seorang ibu, saya berupaya mengipas di dekat hidung anak saya dan berharap udara berbahaya tak ia hirup saat tidur," kata dia.
Afni mendesak pemerintah tak mengabaikan bencana kabut asap yang kian parah ini. "Para balita bisa sekarat setelah menghirup udara dengan berkualitas berbahaya. Bukan sehari-dua hari mereka mesti bertahan, tapi sudah berbulan-bulan lamanya," ujarnya.
Apalagi di daerah-daerah dengan indeks standar pencemaran udara terparah seperti Pekanbaru dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah titik api di seluruh Indonesia hari ini, Rabu (21/10), meningkat drastis menjadi 3.226 titik, dengan sebaran meluas hingga Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
(agk)