Pemerintah Dituntut Bikin Moratorium Permanen Lahan Gambut

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Rabu, 21 Okt 2015 19:16 WIB
Kebijakan penghentian mutlak dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pegiat seni melakukan aksi menolak asap dengan menggunakan masker di Patung Kuda, Jakarta, Jumat, 9 September 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ekolog Wetlands International Indonesia Irwansyah Reza Lubis menilai pemerintah harus membuat kebijakan penghentian (moratorium) secara permanen seluruh kegiatan pembangunan di hutan rawa gambut dan lahan gambut yang belum dikembangkan. Ia menilai kebijakan itu mutlak dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Sementara itu, lahan gambut yang sudah rusak harus direhabilitasi. Lahan gambut yang sudah terdegradasi harus direstorasi dan dibasahkan kembali," kata Reza saat ditemui di Jakarta, Rabu (21/10).

Reza juga menilai perlunya penerapan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan atau yang kerap disebut paludikultur. Model ini memanfaatkan jenis tanaman bernilai ekonomi yang dapat hidup dalam kondisi basah sehingga bisa ditanam di lahan gambut, seperti sagu, tengkawang, jelutung, serta rotan yang bisa digunakan sebagai bahan baku kertas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami juga menyarankan kepada pemerintah agar membentuk Dewan Penasihat Pengelolaan Lahan Gambut Nasional dengan tugas utama mencegah kebakaran di lahan gambut pada tahun-tahun mendatang," katanya.

Di sisi lain, Direktur untuk Wilayah Sumatera dan Kalimantan dari Badan Suaka Alam dan Margasatwa Dunia (WWF) Anwar Purwoto mengatakan luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektare, tersebar di Pulau Sumatera (7,2 juta hektare), Kalimantan (6,3 juta hektare), Papua (6,18 juta hektare), dan Sulawesi.

Anwar mengatakan NASA menghitung jumlah titik panas pada Agustus hingga Oktober 2015 di Indonesia sebanyak 9.444 buah. Dari total titik panas tersebut, sebanyak 7.461 (79 persen) terjadi di lahan gambut, sementara hanya 1.983 (21 persen) yang terjadi di lahan nongambut.

"Selain merekomendasikan moratorium lahan gambut, kami juga meminta pemerintah memperkuat aspek penegakan hukum dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin membuka lahan," kata Anwar.

Kerusakan gambut berujung petaka

Direktur Wetlands International I. Nyoman Suryadiputra mengatakan kerusakan lahan gambut bukan hanya mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tetapi juga mengarah ke bencana-bencana lainnya yang tak kalah berbahaya.

Nyoman menjelaskan bahwa pada tahun pertama pembukaan lahan gambut, kedalaman air akan langsung turun menjadi hanya 1,5 hingga dua meter. Padahal, sebelum lahan  gambut tersebut "terjamah" manusia, bisa memiliki kedalaman tiga meter. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, kedalaman lahan gambut biasanya akan turun lagi sekitar 5,2 sentimeter per tahun.

"Karena kedalaman air turun, permukaan gambut yang tadinya cembung pun akan kempes. Alhasil, ketika hujan, air akan tertampung dan tidak bisa mengalir ke sungai. Maka setelah kemarau ini selanjutnya akan banjir," kata Nyoman.

Fenomena ini, kata Nyoman, akan berdampak lebih fatal, yaitu pemanasan global yang dapat berujung pada kembalinya Zaman Es. Ia mengatakan saat ini sudah banyak desa-desa yang terendam karena kerusakan lahan gambut.

"Di daerah Delta Rajang di Serawak misalnya, sudah terendam air. Di Dumai dan Indragiri Hilir juga demikian, seluas 100 ribu hektar. Berdasarkan hasil simulasi, dalam 50 tahun, lenih dari separuhnya akan terendam air laut," katanya.

Lebih lanjut, Nyoman mengatakan penurunan kedalaman air di lahan gambut sebesar satu meter saja sudah melepaskan emisi karbondioksida sebanyak 95 ton ke atmosfer (per hektar/tahun). Oleh karena itu, ia berpendapat pemerintah harus menunjukkan keseriusan mengelola dan merestorasi lahan gambut.

Di sisi lain, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Panjaitan mengatakan pihaknya tengah menyiapkan peraturan teknis tata kelola gambut sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (kathutla).

"Belum ada peraturan menteri atau undang-undang yang secara teknis mengatur tata kelola gambut. Karenanya, sekarang sedang dibicarakan," kata Raffles.

Selain itu, Raffles menilai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga harus dikaji ulang karena dinilai belum "bertaring" untuk membuat jera pelaku pembakar hutan dan lahan.

Dia menambahkan, saat ini juga belum ada peraturan yang jelas mengatur bagaimana membuat kanal dan sekat kanal. Di peraturan menteri pertanian misalnya, diatur perusahaan yang pegang izin buka lahan boleh buat kanal untuk transportasi. Namun tidak ada aturan terkait penataan dan pengelolaannya. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER