Jakarta, CNN Indonesia -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam pelarangan sesi pembahasan kasus 1965 pada acara
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 yang akan digelar di Bali 28 Oktober-1 November.
"Aparat dan pemerintah, khususnya polisi, hendak memutar balik zaman ke masa Orde Baru," kata Ketua Umum AJI Suwarjono, Minggu (25/10).
Pelarangan ini dinilai sebagai pengekangan terhadap hak asasi manusia untuk berpendapat dan berekspresi. Kepolisian pun dituding telah menyabotase janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
"Oleh karena itu AJI mendesak polisi menghormati hak asasi manusia dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," ujar Jono –sapaan Suwarjono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AJI juga mendesak Jokowi untuk mengusut polisi-polisi dan aparat negara lain yang melakukan pengekangan kebebasan berpendapat.
AJI menegaskan, masyarakat harus turut menghormati hak asasi manusia dengan mengutamakan dialog dan solusi damai dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Tak hanya UWRF, sejumlah kasus pengekangan ekspresi lain yang terjadi belakangan ini juga disinggung AJI.
Pertama, kasus Tom Iljas di Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Tom yang merupakan korban 1965 dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar ke China. Namun dia harus kehilangan kewarganegaraannya dan tidak bisa kembali ke Indonesia.
Tom yang kini berkewarganegaraan Swedia kembali terusir saat hendak berziarah ke makam ayahnya pada 11 Oktober. Sebelum berhasil ziarah, dia ditahan polisi tanpa alasan jelas dan dideportasi serta dicekal.
Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, pada 16 Oktober, majalah Lentera Merah yang dipublikasikan Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah, dilarang terbit. Majalah itu menyajikan liputan utama “Salatiga Kota Merah” yang bercerita soal pelanggaran HAM berat tahun 1965 di kota tersebut.
Tak hanya itu, sebelumnya di Banyuwangi, Jawa Timur, polisi melarang diskusi tentang lagu "Genjer-genjer."
Seluruh kejadian itu disebut AJI sebagai bentuk intimidasi terkait kasus 1965.
"Tak ada rekonsiliasi tanpa ada pengungkapan kebenaran; dan diskusi, seminar, penerbitan buku serta pemutaran film adalah upaya pengungkapan itu," kata Jono.
Pada 1965, pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September malam di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
(agk)