Kapolri Ungkap Penyebab Nama Risma Masuk dalam SPDP

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Senin, 26 Okt 2015 14:11 WIB
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, penyidik kasus tersebut terlambat mengirimkan SPDP ke Kejaksaan. Penyidik sudah diberi teguran atas kelalaiannya.
Mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. (Detikcom/Budi Sugiharto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan telah terjadi kelalaian penyidik sehingga mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dikabarkan sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

"Ya kelalaian, itu mengirim SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) terlambat. Konsekuensinya, penyidik kami tegur," kata Badrodin di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Senin (26/10).

Dia menjelaskan, penyidik membuat SPDP sebagai syarat untuk memanggil saksi. Untuk memanggil saksi-saksi, penyidik harus terlebih dulu menaikkan sebuah kasus ke tahap penyidikan.
Langkah itu penting untuk menghindari gugatan praperadilan dari pihak yang nantinya ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, tersangka kelak bisa menggugat untuk mencabut status hukumnya seandainya syarat tersebut tidak terpenuhi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, kelalaian terjadi saat SPDP yang telah disiapkan, tidak langsung dikirimkan ke Kejaksaan oleh penyidik. "Semestinya SPDP itu dikirim sejak awal," kata Badrodin.

Surat tersebut, kata dia, tidak segera dikirimkan ke Kejaksaan lantaran penyidik belum menemui titik terang atas perkara yang dilaporkan sejak Mei itu.

Pada 25 September, penyidik melakukan gelar perkara dan memutuskan tidak ada tindak pidana yang ditemukan. Berdasarkan hasil gelar itu, maka polisi memutuskan untuk menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

"Tapi akan timbul persoalan kalau dihentikan saat SPDP belum dikirim ke Kejaksaan. Maka dikirim pada 29 September," kata Badrodin.

Hanya saja, sejak 22 September Polri sudah memutasi Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Timur yang bertugas menangani kasus tersebut. Penggantinya, kata Badrodin, belum bertugas karena masih menjalankan ibadah naik haji.
Saat itulah muncul informasi dari Kejaksaan yang menyebut nama Risma tercantum dalam SPDP. "Ini jelas nama tersangka harus disebutkan. Kalau tidak disebutkan, bisa dipraperadilankan," kata Badrodin.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Anton Charliyan menambahkan, penyidik sebenarnya telah menemukan ada dugaan tindak pidana dalam perkara ini. Namun belakangan dugaan itu tidak berhasil dibuktikan.

Senada dengan Badrodin, dia mengatakan SPDP diperlukan untuk bisa melakukan pemanggilan saksi-saksi. "Saat itu masih penyelidikan makanya SPDP baru diterbitkan."

Tahapan yang harus ditempuh penyidik, kata Anton, adalah tingkat penyelidikan, pencarian dugaan tindak pidana, baru tingkat penyidikan untuk memeriksa saksi dan menetapkan tersangka. Saat memasuki penyidikan itulah SPDP diterbitkan.

Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta Pane menilai jajaran Kepolisian bersikap sembarangan dalam kasus ini. "Kasus Risma adalah kekacauan hukum dan sekaligus malapetaka hukum akibat sikap polisi dalam melakukan penegakan hukum, khususnya Polda Jatim."

Dia mengecam keras apa yang dilakukan polisi dalam kasus ini. Kasus ini, kata Neta, menunjukkan penyalahgunaan kekuatan oleh polisi yang berujung pada nuansa politik kebingungan publik.
"Ini berpotensi memicu konflik sosial di Surabaya maupun Jawa Timur," kata Neta.

Akibat peristiwa ini, kata Neta, pendukung Risma bisa menuduh polisi mengganjal langkah mantan Wali Kota yang kembali mencalonkan diri itu dalam Pemilihan Kepala Daerah 2015. Sebaliknya, lawan politiknya akan menuding polisi melindungi Risma lantaran tiba-tiba menerbitkan SP3.

"Terjadinya polemik terhadap status Risma sebagai tersangka adalah akibat kecerobohan, ketidaktransparanan dan ketidakpedulian Kapolda Jatim (Inspektur Jenderal Anton Setiadji)," kata Neta. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER