Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mempertanyakan penyantuman nama mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus dugaan penyalahgunaan wewenang di Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Atas dasar itu, Komisioner Kompolnas Edi Hasibuan meminta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk turun tangan memeriksa apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa ini.
"Pemerintah, Presiden, jelas mengatakan kebijakan tidak bisa dipidanakan. Situasi kan jadi meresahkan sekarang, jangan sampai ada polisi yang diperalat politik," kata Edi di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (26/10).
Dia juga menduga telah terjadi kesalahan prosedur dalam pengusutan kasus ini. Semestinya, kata Edi, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan berbarengan dengan SPDP yang dikirim ke Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dalam kasus ini, SP3 baru akan dikirimkan setelah SPDP diterima jaksa. Polisi juga, saat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyatakan ada nama Risma dalam SPDP, sempat membantah telah menetapkan nama itu sebagai tersangka.
Jika terjadi pelanggaran, kata Edi, maka si pelaku bisa dikenakan hukuman beragam, mulai dari evaluasi sampai mutasi. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemeriksa.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan telah memberikan teguran kepada penyidik yang menangani kasus Risma.
Dia menjelaskan, penyidik membuat SPDP sebagai syarat untuk memanggil saksi. Untuk memanggil saksi-saksi, penyidik harus terlebih dulu menaikkan sebuah kasus ke tahap penyidikan.
Langkah itu penting untuk menghindari gugatan praperadilan dari pihak yang nantinya ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, tersangka kelak bisa menggugat untuk mencabut status hukumnya seandainya syarat tersebut tidak terpenuhi.
Namun, kelalaian terjadi saat SPDP yang telah disiapkan, tidak langsung dikirimkan ke Kejaksaan oleh penyidik. "Semestinya SPDP itu dikirim sejak awal," kata Badrodin.
Kegaduhan seputar penetapan Risma sebagai tersangka ini berawal dari pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pun ketika dikonfirmasi membenarkan anak buahnya menerima SPDP dari Kepolisian. “Saya terima SMS, bahkan ada nomor SPDP-nya,” kata Prasetyo, pekan lalu.
Sementara itu, pihak Kepolisian justru membantah penetapan tersangka itu. Baru belakangan setelah Badrodin angkat bicara, pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur memastikan akan menghentikan penyidikan terhadap Risma.
Edi mempertanyakan motif Jaksa mengumumkan penyantuman nama Risma itu. Terlebih, waktu pengumuman sudah mendekati pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang akan kembali diikuti oleh Risma.
"Lalu atas kepentingan apa jaksa mengumumkan, itu juga harus dipertanyakan. Kalau tidak diumumkan kan tidak timbul kegaduhan," kata Edi.
Karena itu, dia juga menilai perlu ada tindakan serupa dari pengawas internal Kejaksaan. "Kenapa ini sampai keluar, ada motif apa, jadi jaksa harus diperiksa juga oleh internalnya."
(bag)