Ubud, CNN Indonesia -- Pengacara dan aktivis Todung Mulya Lubis berharap Presiden Jokowi mau membuka hati untuk para korban peristiwa 1965. Ia mengingatkan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk soal 1965.
“Secara pribadi, saya yakin Jokowi mau melakukan itu (minta maaf mewakili negara). Tapi Jokowi dikelilingi oleh banyak orang yang pasti memengaruhi pengambilan keputusannya,” kata Todung pada diskusi panel
Jokowi, The Year That Was yang digelar di
Ubud Writers & Readers Festival, Bali, Jumat (30/10).
Ketika membantu Jokowi pada kampanye 2014, ujar Todung, Jokowi menempatkan soal HAM sebagai agenda prioritasnya. Namun kini setelah setahun berlalu, kata pria kelahiran 1949 itu, harus diakui pemerintahan Jokowi belum melaksanakan apa yang semula diniatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diskusi soal 1965 bahkan “diberangus”, seperti yang terjadi pada UWRF tahun ini. Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), terjadi 27 pengekangan oleh pemerintah pada periode Oktober 2014 hingga Oktober tahun ini, yang sebagian besar terkait peristiwa 1965.
Jokowi, meski diyakini Todung secara pribadi bersedia minta maaf kepada korban 1965, pada Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober mengatakan tak akan meminta maaf soal itu.
“Tidak ada pemikiran mengenai minta maaf. Sampai detik ini tidak ada ke arah itu,” ujar Jokowi, menampik isu ia bakal minta maaf dalam reuni anggota keluarga Partai Komunis Indonesia dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) –organisasi wanita yang memperjuangkan sosialisme dan feminisme, serta memiliki hubungan kuat dengan PKI sehingga berimbas pada tewasnya banyak anggotanya karena dianggap Orde Baru terlibat peristiwa Gerakan 30 September.
G30S yang mengakibatkan terbunuhnya tujuh perwira tinggi militer Indonesia pada 30 September 1965 memicu dugaan pembunuhan massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada periode 1965-1966. Mereka yang menjadi korban adalah orang-orang yang dituding sayap kiri. Jika tak dibunuh, mereka ditahan dan disiksa.
Sebelumnya, istri mantan petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Oey Hay Djoen, Jame Luyke, menyesalkan ketiadaan niat Jokowi untuk minta maaf kepada korban 1965 mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Menurut Jane, permintaan maaf negara kepada korban amat penting. Di sisi lain, ia memahami kesulitan Jokowi untuk sekadar minta maaf, sebab ujar Jane, orang-orang di sekitar Jokowi masih banyak yang tidak mendukung negara meminta maaf.
“Jokowi hati-hati dan tidak mau sembrono,” kata Jane yang kini berusia 81 tahun.
Suami Jane, Oey Hay Djoen, merupakan anggota Sekretariat Pusat Lekra yang pernah menjadi anggota parlemen dari PKI pada masa Orde Lama. Beberapa hari setelah G30S, Oey ditangkap dan dipenjara selama 14 tahun tanpa diadili.
Suatu saat nanti, ujar Jane, negara tetap harus minta maaf secara resmi kepada korban 1965.
GenosidaKetua Panitia Penyelenggara Pengadilan Rakyat Internasional (
International People’s Tribunal) Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana yang juga menghadiri Ubud Writers & Readers Festival, menyatakan 500 ribu sampai sejuta orang diduga mati dibunuh dalam kurun waktu 1965-1966.
IPT 1965 yang akan berlangsung di Den Haag, Belanda, 10-13 November, memilih menggunakan kata “kejahatan kemanusiaan” ketimbang “pembantaian” atau “pembunuhan massal.” Meski demikian, kata Nursyahbani, sesungguhnya elemen genosida, yakni pembunuhan besar-besaran secara sistematis terhadap satu bangsa, masuk dalam kejahatan kemanusiaan itu.
“Banyak ahli hukum internasional memasukkan peristiwa pembantaian 1965 sebagai genosida. Pemusnahan atas dasar kepentingan politik ini bahkan berlangsung sampai sekarang dengan adanya stigma dan kekerasan terhadap para korban dan penyintas (
survivor),” ujar Nursyahbani seperti juga ia tuliskan dalam situs IPT 1965,
1965tribunal.org.
Paham komunisme yang dianggap ateis, kata Nursyahbani, pada periode 1965-1966 telah menggerakkan sekelompok masyarakat untuk melakukan pembunuhan massal, pemusnahan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pemenjaraan, penahanan sewenang-wenang, dan perbuatan-perbuatan kejam lainnya.
Kejahatan-kejahatan itu, ujar Nursyahbani, dilakukan secara sistematis dan meluas hampir di seluruh Indonesia, dan sampai sekarang impunitas tetap berlangsung. Mereka yang melakukan kejahatan melenggang bebas dari jerat hukum. Pemerintah RI pun tak meminta maaf atau merehabilitasi para korban.
Tiga jenis korbanSejarawan Asvi Warman Adam mengatakan peristiwa 1965 merupakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia. Ia membandingkannya dengan penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun yang menewaskan 125 ribu orang. Sementara pembantaian 1965 menewaskan 500 ribu orang.
Asvi menganggap pemerintah RI permu minta maaf atas empat hal. Pertama, Presiden perlu minta maaf kepada mereka yang dicabut kewarganegaraannya setelah G30S dan kini menjadi pengasingan (
exile) di luar negeri.
“Mereka ini tidak terlibat politik dan tak terkait dengan G30S. Mereka dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960-an untuk menuntut ilmu guna mempersiapkan pembangunan teknologi. Tapi karena dianggap sebagai pendukung Soekarno, paspor mereka dicabut,” kata Asvi kepada CNN Indonesia.
Salah satu korban yang baru-baru ini mendapat sorotan adalah Tom Ijas, warga Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, yang pada tahun 1960 dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar teknik pertanian ke China, dan tak bisa kembali lagi ke Indonesia pasca-peristiwa 1965.
Tom yang kini berusia 77 tahun dan menjadi warga negara Swedia setelah kehilangan kewarganegaraan Indonesia, kembali terusir dari RI pada 11 Oktober saat hendak berziarah ke makan sang ayah. Sebelum ziarahnya terlaksana, Tom ditahan polisi. Ia lalu dideportasi dan dicekal.
Kedua, Presiden perlu meminta maaf kepada lebih dari 10 ribu orang yang dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun, dalam kurun waktu 1969-1979. Mereka, kata Asvi, ditahan dan dihukum kerja paksa di kamp konsentrasi di salah satu pulau Kepulauan Maluku itu tanpa tahu kapan akan dibebaskan.
Ketiga, Presiden perlu minta maaf kepada anak-anak dan keluarga korban 1965 yang dilarang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini TNI). “Mereka menjadi korban diskriminasi. Padahal memilih lapangan kerja dijamin dalam UUD 1945,” ujar Asvi.
Pada akhirnya, Nursyahbani berharap Pengadilan Rakyat Internasional 1965 dapat membuat negara mengakui kejahatan kemanusiaan pasca-G30S memang benar adanya.
(agk)