Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal melakukan rapat koordinasi perdana di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jalan Merdeka Timur Jakarta Pusat, Senin (2/10).
Rapat dipimpin langsung Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang menjabat sebagai Komandan Satuan Tugas "Illegal, Unreported and Unregulated Fishing" (Satgas IUU Fishing) tersebut.
Satgas IUU Fishing dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015, di mana selain Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Komandan Satgas, maka Wakil Kasal TNI AL merupakan Kepala Pelaksana Harian Satgas itu.
Adapun Wakil Kepala Pelaksana Harian adalah Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri, dan Jaksa Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI.
Satgas untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dinilai merupakan koordinasi lintas instansi yang dibutuhkan guna menangani pencurian ikan yang merugikan negara hingga sekitar Rp300 triliun per tahun.
Pembentukan satgas tersebut juga menuai sejumlah kritik seperti dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) yang menyatakan Perpres Nomor 115/2015 menimbulkan masalah tumpang tindih kewenangan antarlembaga.
"Kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur dalam Perpres Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal menabrak dan tumpang-tindih dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya," kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin (26/10).
Menurut Abdul Halim, bila yang didorong adalah efektivitas dan efisiensi penegakan hukum di laut, maka semestinya yang dilakukan adalah harmonisasi kebijakan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat sedikitnya ada empat kebijakan yang ditabrak oleh Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal.
Dia memaparkan empat kebijakan yang ditabrak yakni Perpres Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan Perpres Nomor 178 Tahun 2015 tentang Badan Kemanan Laut.
"Jika tidak ada koreksi dari Presiden Jokowi, tumpang-tindih kebijakan di bidang penegakan hukum di laut akan berdampak kepada tiga hal, yakni pertama tabrakan kepentingan intra maupun ekstra institusi penegak hukum di laut dikarenakan tafsir atas kebijakan yang berbeda," katanya.
Dua hal lainnya adalah terbuangnya anggaran secara percuma dikarenakan satu bidang kerja dilakukan oleh banyak lembaga negara, serta masyarakat nelayan akan menjadi korban bertumpuknya kebijakan dan implementasi yang tidak berpihak di lapangan.