Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa muncikari artis, Robby Abbas, mengajukan uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (10/11). Pada sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian KUHP ini, Robby diwakili empat kuasa hukumnya.
Permohonan dengan nomor perkara 132/PPU-XIII/2015 yang diajukan Robby menguji dua norma, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP.
"Pasal itu sifatnya diskriminatif karena hanya menjerat orang yang menghubungkan perbuatan cabul, sementara pelaku (pencabulan) tidak dijerat secara hukum," kata kuasa hukum Robby, Pieter Ell, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 296 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang kain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Sementara Pasal 506 KUHP menyatakan, “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun.
Pada 9 Mei 2015, Robby ditangkap terkait kasus prostitusi online yang melibatkan beberapa artis ibu kota. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan vonis kepada Robby dengan hukuman pidana satu tahun empat bulan penjara pada 26 Oktober 2015.
Majelis hakim memvonis Robby terbukti melanggar Pasal 296 KUHP karena memudahkan terjadinya perbuatan cabul dan menjadikan perbuatan cabul tersebut sebagai mata pencahariannya.
Namun pihak yang meminta dicarikan artis penyedia jasa prostitusi dan kemudian menggunakan jasa artis tersebut dengan memberikan imbalan jasa, tidak dikenakan sanksi pidana. Pelaku pencabulan hanya dijadikan saksi saja. Hal ini yang menurut Pieter mengandung unsur diskriminasi hukum.
Kuasa hukum Robby, Supriyadi Adi, mengatakan Pasal 256 juncto Pasal 506 KUHP hanya dapat dikenakan kepada seseorang atau subjek hukum yang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul atau seks komersial.
Sementara pihak lain yang terlibat dalam tindakan tersebut seperti pekerja seks komersial dan pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memberikan imbalan, tidak dikenakan hukuman pemidanaan.
"Orang yang memudahkan berbuat cabul dipidana, tapi orang yang mendapat keuntungan dari kemudahan itu tidak dipidana," kata Supriyadi.
Menurut Supriyadi, pemberlakuan ketentuan tersebut tidak mencerminkan beberapa norma pembentuk hukum positif di Indonesia seperti hukum adat, hukum agama dan hukum nasional.
Ketua Majelis Hakim MK Patrialis Akbar menyambut positif permohonan pengujian tersebut. Dia menyatakan ada kekosongan hukum menyangkut pelaku pencabulan.
"Ini permohonan yang luar biasa. Ada satu kesadaran yang sangat mulia, baik dari prinsipnya maupun dari kuasa hukum," kata Patrialis menanggapi permohonan tersebut.
Kekosongan hukum yang mengatur mengenai pihak yang tidak diatur dalam Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP ini kemudian diatur dalam beberapa peraturan daerah. Dua di antaranya seperti Pasal 42 ayat 2 Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 dan Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005.
Kedua perda tersebut mengatur bahwa perbuatan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa merupakan perbuatan melanggar hukum.
Namun menurut Supriyadi, jika hal tersebut tidak diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan ketentuan KUHP tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Supriyadi juga berniat megundang pihak lain yang terkait dengan norma tersebut. Dia meminta Majelis Ulama Indonesia dan agama lain untuk menyelesaikan masalah ini.
(agk)