Jusuf Kalla soal Sidang Rakyat 1965: Itu Pengadilan Semu

Noor Aspasia Hasibuan | CNN Indonesia
Rabu, 11 Nov 2015 18:11 WIB
Wakil Presiden Jusuf Kalla tak menganggap serius Pengadilan Rakyat Internasional Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang mendudukkan Indonesia sebagai terdakwa.
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. (REUTERS/Beawiharta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden Jusuf Kalla tak menganggap serius Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang terjadi di Indonesia, atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang kini tengah digelar di Den Haag, Belanda.

“Itu bukan pengadilan sungguhan. Itu hanya pengadilan semu, tak perlu ditanggapi,” kata JK di Jakarta, Rabu (11/11).

Indonesia, dalam IPT 1965, didudukkan sebagai terdakwa. Negara dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua kejahatan tersebut dituding sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematis yang ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga menjadi simpatisannya.
Pada periode 1965-1966, pembunuhan massal diduga terjadi di berbagai daerah di Indonesia terhadap mereka yang dituding sebagai sayap kiri. Pembantaian itu dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.

Usai G30S, ratusan hingga ribuan warga diduga dibunuh, atau ditahan dan disiksa. Sampai sekarang kejahatan kemanusiaan ini tak pernah terungkap secara gamblang.

Masa lalu kelam ini yang memicu inisiatif sejumlah pihak untuk menggelar Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag –kota yang juga menjadi markas Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Melalui sidang rakyat tersebut, kata Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana, diharapkan pemerintah Indonesia mau mengakui kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia yang telah dilakukan negara terhadap rakyatnya pada periode 1965-1966.
Namun pemerintah Republik Indonesia sejauh ini tak berniat mengakui kejahatan apapun terkait peristiwa 1965. Menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Luhut Binsar Pandjaitan, negara tak perlu minta maaf atas pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa itu.

Hal serupa dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Seperti Luhut, ia membandingkan peristiwa 1965 dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia.

“Berapa banyak orang yang dibunuh Belanda di sini (Indonesia)? Kalau begitu, kita adili saja Belanda di sini. Sejuta rakyat Indonesia juga bisa bersaksi bagaimana zaman Belanda dulu,” kata JK.

Ia juga membandingkan dengan penyerangan yang dilakukan negara-negara besar terhadap negara lain. “Amerika bunuh orang-orang di Irak, Eropa bunuh orang-orang di Vietnam, di Afghanistan juga. Lebih banyak mereka yang bunuh dan mengebom di tempat lain,” ujar JK.

Sebelumnya, JK juga mengatakan tak masuk akal meminta Indonesia meminta maaf terkait peristiwa 1965. “Masak pemerintah disuruh minta maaaf? Kan yang dibunuh jenderal-jenderal kami. Mereka harus tahu, siapa yang berbuat lebih dulu,” kata dia.

Apapun, Nursyahbani selaku Koordinator IPT mengatakan Tragedi 1965 merupakan kejahatan luar biasa yang bisa disebut sebagai “Salah satu Holocaust terburuk pada abad 20 yang telah dibiarkan tak terungkap selama hampir 50 tahun.”

(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER