Jakarta, CNN Indonesia -- Kesaksian tentang kekerasan seksual selama Tragedi 1965 diperdengarkan pada Pengadilan Rakyat Internasional atau
International People's Tribunal (IPT) 1965 yang berlangsung di Den Haag, Belanda, Rabu (11/11). Yang mengejutkan, salah satu kesaksian menyeret nama seorang guru besar universitas ternama di Indonesia.
Kemarin, Tim Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin advokat senior dan aktivis hak asasi manusia Todung Mulya Lubis menghadirkan perempuan berusia lanjut yang namanya disamarkan sebagai Tintin Rahaju.
Ikuti terus perkembangan persidangan di Fokus:
SIDANG RAKYAT TRAGEDI 1965 DIGELAR
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat rentetan Tragedi 1965 berlangsung, Tintin merupakan seorang mahasiswi yang bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.
Suatu saat, kata Tintin, ia ditangkap oleh aparat dan dituduh melakukan gerilya politik. Namun Tintin menolak seluruh tudingan yang dilemparkan kepadanya.
Sambil berlinang air mata di hadapan majelis hakim, Tintin menceritakan dia ketika itu malah menerima berbagai kekerasan fisik dan nonfisik.
Bersaksi dari balik tirai, Tintin menuturkan ia dikonfrontasi dengan seorang lelaki. Tintin dikonfrontasi dalam kondisi tangan diborgol dan tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.
Tintin berkisah, saat dia menyangkal seluruh tuduhan yang dilemparkan para interogator, ia justru diperkosa.
Kisah pahit Tintin di hadapan majelis hakim Pengadilan Rakyat 1965 itu lantas dituliskan oleh sastrawan Martin Aleida yang hadir pada persidangan itu –juga sebagai korban lain yang ikut bersaksi– lewat akun media sosialnya yang kemudian tersebar luas di jagat maya.
“Kulihat para hakim, prosekutor, Todung Mulya Lubis nanap menatap langit-langit menahan tangis. Registrar, hadirin, mengatupkan mulut menahan emosi,” kata Martin.
Todung pun kemudian menayakan nama pelaku kekerasan seksual itu kepada Tintin. Awalnya Tintin ragu dan sempat bertanya dua kali, apakah ia memang diizinkan untuk menyebut nama orang tersebut.
Setelah diyakinkan oleh Todung, Tintin pun menyebut nama seorang guru besar universitas ternama di Indonesia.
Kesaksian Tintin merupakan satu dari lembaran hitam sejarah Indonesia yang hendak diungkap Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia.
Hari ini, Kamis (12/11), kesaksian para eksil terkait kasus penghilangan paksa dan ujaran kebencian akan diperdengarkan pada IPT 1965 yang akan berlangsung hingga Jumat esok.
Todung menyatakan, IPT 1965 digelar bukan untuk membela Partai Komunis Indonesia. "IPT digelar untuk mencari kebenaran dalam kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang disimpulkan oleh Komnas HAM," kata dia.
Sebelumnya, Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, ia berharap melalui pengadilan rakyat itu, pemerintah Indonesia mau mengakui kejahatan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya usai Gerakan 30 September 1965.
G30S yakni tragedi berdarah pada malam 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh. Peristiwa semalam itu diduga memicu pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia terhadap mereka yang dituding sebagai sayap kiri.
Dalam IPT 1965, Indonesia duduk sebagai terdakwa. Negara dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda.
(agk)