Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan berpendapat perkara dugaan kejahatan kemanusiaan tahun 1965, lebih baik diselesaikan di internal Indonesia.
Itu disampaikannya menyikapi Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 (International People’s Tribunal 1965). Hari ini merupakan hari terakhir persidangan.
"Bukankah lebih terhormat diselesaikan dalam negeri? Jangan bawa ke tempat lain. Belum tentu mereka lebih cinta kita (Indonesia)," ujar Zulkifli Hasan di Gedung Nusantara III DPR RI, Jakarta, Jumat (13/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai memang ada dua jalan keluar atas dugaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi 50 tahun lalu di Indonesia, yakni rekonsiliasi dan penegakkam hukum.
Menurutnya, solusi melalui penegakkan hukum memang sulit direalisasikan. Sebab, banyaknya bukti dan fakta yang sulit dikumpulkan.
Karenanya, dia mengimbau pemerintah untuk mengajak semua pihak untuk menyelesaikannya melalui rekonsiliasi. "Organisasi masyarakat dan lembaga negara terkait diajak dong bersama-sama. Jangan jalan sendiri-sendiri," katanya.
"Orang yang berjuang dan yang terlibat sangat dalam emosionalnya juga. Ya penyelesaiannya ada rekonsiliasi," kata Zulkifli.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengimbau tim jaksa, pengacara, dan para saksi Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 (International People’s Tribunal 1965), untuk tak takut pulang ke Indonesia.
Hari ini, Jumat (13/11), IPT 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda, memasuki hari terakhir. Sidang rakyat yang menghadirkan para korban Tragedi 1965 sebagai saksi itu dimulai sejak Selasa pekan ini.
"Kenapa (saksi) harus takut? Tidak perlu takut. Kembali ya kembali saja, kan tidak ada masalah lagi. Kalau takut berarti salah kan? Kalau tidak salah ya pulang saja ke sini (Indonesia)," ujar Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta.
(pit)