Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini sedang menyusun revisi aturan pemberian ganti rugi terhadap korban salah tangkap dan korban peradilan sesat sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana mengaku telah mendapatkan restu dari Presiden Joko Widodo untuk mengubah aturan tersebut.
Widodo menargetkan revisi PP itu selesai sebelum 10 Desember yang diperingati sebagai hari HAM. "Kami berharap ini akan menjadi hadiah pada hari HAM. Kemenkumham memberikan ini untuk melindungi mereka," ujarnya di Jakarta, Selasa (17/11).
Rabu besok, Widodo akan mengundang sejumlah ahli dan perwakilan Kejaksaan Agung, Polri serta Mahkamah Agung untuk merumuskan ganti rugi yang patut bagi korban salah tangkap dan korban peradilan sesat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Widodo menuturkan Ditjen Perundang-undangan juga akan mengharmonisasikan materi muatan rancangan revisi PP 27/1983 dengan pelbagai rancangan undang-undang terkait, salah satunya RUU KUHP dan RUU KUHAP.
Hingga saat ini, Ditjen Perundang-undangan belum memastikan nominal ganti rugi yang akan mereka atur pada peraturan pemerintah baru itu. Yang jelas, Widodo menegaskan, jumlah tersebut akan lebih besar dibandingkan nominal yang berlaku selama 32 tahun ini.
Pasal 95 ayat (1) pada KUHAP memberikan hak kepada tersangka, terdakwa atau terpidana menuntut ganti kerugian karena ditahan, dituntut, diadili dan dikenakan tindakan lain tanpa alasan hukum atau karena kekeliruan hukum.
Sebagai implementasi, pasal 9 PP 27/1983 menyatakan ganti rugi yang dapat diterima korban salah tangkap dan peradilan sesat berkisar dari Rp5 ribu hingga Rp1 juta. Jika akibat penerapan hukum yang salah itu korban menjadi cacat atau kehilangan nyawa, maka ganti rugi yang akan diterima ahli waris paling besar senilai Rp3 juta.
"Masa salah tangkap dihukum sekian tahun sampai cacat cuma diganti segitu. Nanti kami akan rumuskan yang baru," tutur Widodo.
(sur)