Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Senior Partai Golongan Karya, Akbar Tandjung, menilai publik menjadi elemen penting dalam kasus yang menimpa salah satu kader sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto, yang diduga mencatut nama Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam kasus perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
"Sekarang publik menghendaki adanya keterbukaan dan transparansi, dan juga berharap agar seorang tokoh itu bisa memiliki sikap yang dapat menjadi teladan, menghormati etika. Itu yang sangat diharapkan publik," kata Akbar dalam keterangannya, di Jakarta Selatan, Rabu (18/11).
Menurutnya, hal itu dapat menjadi acuan untuk mencari solusi masalah yang dihadapi Setya Novanto. Meski demikian, Akbar menyerahkan sepenuhnya proses kasus tersebut kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), untuk mendapat kejelasan.
Sebab hingga kini, kasus itu masih menimbulkan keraguan dan pertanyaan dibenaknya, terkait keterlibatan dalam urusan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia, termasuk mencatut nama presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akbar pun mengaku belum melakukan komunikasi khusus membahas hal tersebut dengan Setya Novanto, meski sempat bertemu dengannya. Hal sama juga belum dikomunikasikannya dengan Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie (ARB).
"Mungkin, menit-menit ke depan atau jam-jam ke depan saya akan coba komunikasi lagi dengan ARB," ujar Akbar.
Menanggapi isu kocok ulang pimpinan DPR, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Bali itu menilai terlalu dini untuk membicarakan hal tersebut. Namun, lebih penting menurutnya saat ini, publik harus mengetahui kasus ini secara terbuka.
"Itu yang akan kita lakukan untuk selesaikan masalah yang terjadi di kepemimpinan dewan. Khususnya Setnov," kata Akbar.
Akbar mengenal sosok Setya Novanto sebagai salah seorang yang direkrut pertama kali di DPP Golkar saat dirinya terpilih menjadi Ketua Umum pada tahun 1998. Sejauh ini, di mata Akbar, Setya Novanto, baik-baik saja dan tidak bermasalah.
Setya Novanto menghadapi sejumlah kasus pada pekan ini. Selain pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta dugaan lobi pembelian pesawat amfibi US-2 di Jepang.
Ketua DPR itu juga diterpa kasus pemberian surat kepada PT Pertamina pada 17 Oktober 2015, yang meminta PT Pertamina membayar biaya penyimpanan BBM kepada PT OTM. Sebab, selama ini Pertamina menyimpang bahan bakar di perusahaan tersebut.
Setya juga menyertakan beberapa surat lampiran, seperti notulensi rapat negosiasi awal antara Pertamina dengan OTM, surat berisi penyesuaian kapasitas tangki timbun di PT Orbit Terminal Merak, surat review kerjasama pemanfaatan terminal BBM Merak, dan lainnya.
(gir/gir)