Sumarsih Mencari Keadilan: Dalam Kamisan Ada Kesetiaan

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Kamis, 19 Nov 2015 16:38 WIB
Aksi digelar saat matahari menuju senja. Tanpa orasi, tak ada agitasi. Di bawah payung hitam, mereka membagikan selebaran.
Maria Katarina Sumarsih, orangtua dari BR Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Maria Katarina Sumarsih telah menyiapkan secarik surat untuk Presiden Joko Widodo. Surat bernomor 50/Surat Terbuka_JSKK/XI/2015 itu berisi hal “UU N0. 9 Tahun 1998 dan UU No.26 Tahun 2000”. Di pojok kanan atas, tertulis: Kamis ke-420.

Surat yang mirip selebaran itu berkop JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan). Di bawah surat, tercantum nama Sumarsih sebagai salah satu Presidium JSKK. Selain Sumiarsih, ada pula Suciwati, istri aktivis pembela HAM Munir, dan Bejo Untung selaku korban Tragedi 1965.

Sumarsih adalah ibu korban Tragedi Semanggi I. Putranya, BR Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas ditembak tentara saat demonstrasi memperjuangkan reformasi, 13 November 1998.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak kepergian Wawan, Sumarsih meneruskan perjuangan si buah hati. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari keadilan. Termasuk aksi Kamisan yang digagas pada 18 Januari 2007, dan bergulir hingga kini.

“Dalam Kamisan, ada kesetiaan dan ketekunan. Tujuan Kamisan itu membongkar fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa dan impunitas,” ujar Sumarsih saat ditemui CNN Indonesia di rumahnya di kawasan Meruya, Jakarta Barat, Rabu (18/11) malam.

Perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah, ini ditemani sejumlah keluarga dan korban kasus pelanggaran hak asasi manusia. Aksi digelar saat matahari menuju senja. Tanpa orasi, tidak ada agitasi. Di bawah payung hitam, mereka membagikan selebaran.

“Kamisan ini cukup menyita waktu,” kata Sumarsih. Kesehariannya nyaris diliputi urusan Kamisan.

Usai mengikuti Kamisan, biasanya Sumarsih melakukan meditasi di malam hari. Besoknya, dia mengumpulkan dokumentasi aksi. Perempuan lulusan SMEA ini tak segan meminta foto-foto kepada rekan maupun wartawan yang mengabadikan momen Kamisan. Sebagai Katolik taat, akhir pekan Sumarsih gunakan untuk bersembahyang bersama keluarga.

Ibu 64 tahun ini juga akrab dengan media sosial. Melalui akun Twitter @sumarsih11, dia terhubung dengan peserta aksi Kamisan di dunia maya. Sumarsih menautkan informasi aksi di akun @AksiKamisan.

Surat Kamisan biasanya rampung dibuat peserta aksi yang bertugas pada awal pekan. Sumarsih ikut kebagian mengedit surat itu. Wara-wara aksi mulai diunggah di Twitter pada Selasa. Rabu dan Kamis dia kembali mengingatkan publik rencana Aksi Kamisan.

“Terapkan UU No. 9/1998 & UU 26/2000 secara jujur & tanpa rekayasa @AksiKamisan ke-420, 19/11/’15 jam 4-5 sore di depan Istana Presiden,” tulis Sumarsih dalam akun pribadinya, untuk kembali mengingatkan aksi.

Sumarsih tinggal bersama suami dan seorang putri di rumah yang luas tanahnya 200 meter persegi. Sehari sebelum melaksanakan Kamisan ke-420, mantan pegawai Sekretariat Jenderal DPR RI ini menyempatkan diri ke dokter. Kedua matanya terserang Glaukoma.

Kamisan kali ini Sumarsih ingin merespons tindakan aparat kepolisian yang berniat mengusir peserta aksi ke lokasi yang lebih jauh. Pasalnya, tempat yang biasa digunakan aksi Kamisan dianggap melanggar undang-undang Nomor 9 Tahun 1998.

“Melalui surat ini, kami sampaikan bahwa pada Aksi Diam Payung Hitam Kamisan ke-419 tanggal 12 November 2015, pihak kepolisian memaksa pindah ke tempat yang semakin jauh dari Istana,” demikian bunyi penggalan surat yang bakal dikirim sore ini.

Pemaksaan itu beriringan dengan terbitnya Pergub DKI Jakarta No.228/2015 mengenai lokalisasi unjuk rasa (yang direvisi dengan Pergub No.232/2015), terbitnya Surat Edaran Kapolri mengenai Ujaran Kebencian, dan UU No. 9/1998 yang mengatur demonstrasi sejauh 100 meter dari objek vital, termasuk Istana Presiden.

Kehadiran Sumarsih dan peserta lainnya dalam aksi Kamisan sore ini membuktikan bahwa mereka menolak tunduk pada ketidakadilan. Meskipun diakuinya, lelah dan putus asa pernah ada, namun keteguhan Sumarsih tetap terjaga. Idealnya, menurut Sumarsih, Kamisan akan tetap ada hingga pelanggaran HAM tidak lagi ada.

“Kalau kasus-kasus (pelanggaran HAM) itu diselesaikan dengan undang-undang yang berlaku, dengan jujur, terbuka, transparan, Kamisan selesai,” tuturnya.

(obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER