Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi I Bidang Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengutamakan produk dalam negeri dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), termasuk helikopter untuk
very very important person (VVIP).
“Efek ekonominya akan besar karena uang berputar di dalam negeri. Kalau kita (Indonesia) beli dari luar negeri, artinya sekian juta dolar lari ke luar semua,” kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq di Jakarta, Rabu (25/11). (Simak Fokus:
HELIKOPTER UNTUK PRESIDEN)
Ia berharap pemerintah dan Tentara Nasional Indonesia mulai meminimalisasi impor. “Kalau pun ada komponen impor, sebagian saja,” ujar legislator Partai Keadilan Sejahtera itu.
Mahfudz berpendapat PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sudah mampu memproduksi helikopter VVIP yang tak kalah dengan produksi luar negeri. “Dengan spesifikasi yang sama, PTDI bisa memproduksi dengan harga yang jauh lebih murah,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa dikemukakan anggota Komisi I Tubagus Hasanuddin. Mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat itu menilai PTDI tinggal melakukan customization atau meng-upgrade fasilitas helikopter buatan mereka untuk menjadi sekelas VVIP.
Helikopter buatan PTDI yang dimaksud Hasanuddin ialah Airbus Helicopter H225 Super Puma yang juga dikenal dengan sebutan Eurocopter EC225. Desain dan produksi EC225 ditangani PTDI, sedangkan lisensinya dipegang oleh Airbus Helicopters di Perancis.
EC225, menurut Hasanuddin, seharga US$35 juta atau setara Rp479 miliar, masih lebih rendah dari harga helikopter AgustaWestland AW101 yang dipilih TNI senilai US$55 juta atau Rp752 miliar lebih.
Untuk menjadi helikopter VVIP, kata Hasanuddin, EC225 tinggal ditambah sejumlah fasilitas seperti
forward looking infrared (FLIR), proteksi atau antipeluru kendali (
chaff and flare dispenser),
infrared jammer, dan
laser warning.
“Semua alat itu diperkirakan seharga US$5 juta. Jadi dari harga awal Super Puma yang sekitar US$35 juta-40 juta, biaya setelah di-
upgrade tak akan lebih dari US$50 juta,” ujar Hasanuddin.
“Biaya lebih rendah karena material dari dalam negeri, negara akan untung, kita mempekerjakan minimal 700 orang dalam setahun, investasi
skill untuk anak bangsa akan terus berkembang, dan perawatan serta pengadaan suku cadang akan lebih murah dan terjamin,” kata politikus PDIP itu.
Sementara suku cadang helikopter buatan luar negeri, ujar Hasanuddin, jelas lebih mahal karena berstatus impor. Selain itu, tak ada jaminan tidak diembargo.
Menggunakan produk dalam negeri, kata dia, juga sesuai dengan amanah Pasal 43 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang berbunyi: tidak dibenarkan membeli alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri selama negara sudah mampu memproduksinya.
Menanggapi Komisi I, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna mengatakan TNI tak sembarangan memilih helikopter. “AW101 itu hasil kajian kami setelah melihat pengalaman mengoperasikan berbagai pesawat sebelumnya. Juga soal pemeliharannya. Kami mencari yang terbaik,” kata dia.
AgustaWestland AW101 merupakan helikopter pabrikan perusahan gabungan Inggris dan Italia. Helikopter yang memiliki teknologi mutakhir dengan desain interior mewah dan nyaman itu akan difungsikan sebagai kendaraan operasional pejabat tinggi negara di RI, termasuk tamu negara selevel presiden dan wakil presiden.
Saat ini perakitan satu helikopter AgustaWestland AW101 yang dipesan TNI telah mencapai tahap akhir. Sebelum pembayaran dan pengiriman, TNI AU akan menerbangkan sejumlah pilot dan teknisi ke pabrik AgustaWestland di Italia untuk mempelajari cara kerja helikopter itu.
TNI tak hanya menggelar pengadaan helikopter VVIP, tapi juga helikopter serbu dan helikopter antikapal selam. Seluruh pembelian alutsista itu masuk Rencana Strategi TNI 2015-2019.
(agk)