Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi menyatakan kewenangan kepala daerah menetapkan status konflik sosial tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pendapat MK tersebut merupakan putusan atas permohonan uji materi Pasal 16 dan 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
"Penentuan keadaan konflik sosial oleh pemerintah daerah cukup rasional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan seluruh pertimbangan itu, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar di Gedung MK, Jakarta, Senin (30/11).
Para hakim konstitusi berpendapat, konflik sosial yang dimaksud pada UU tersebut adalah konflik antarmasyarakat, bukan konflik antara masyarakat melawan pemerintah atau negara asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu hakim konstitusi yakin pemerintah daerah masih mampu mengatasi konflik sosial bersama aparat keamanan di daerah.
Pasal 16 UU Konflik Sosial mengatur, status keadaan konflik pada skala kabupaten atau kota ditetapkan oleh bupati atau wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD.
Sementara Pasal 26 UU Konflik Sosial mengatur empat kewenangan yang dimiliki kepala daerah selama konflik sosial, yaitu pentutupan kawasan konflik, pembatasan orang di luar rumah, penempatan serta pelarangan orang untuk masuk dan keluar dari kawasan konflik. Seluruhnya berlaku untuk sementara waktu.
MK menganggap dua pasal yang dipersoalkan Koalisi Reformasi Sektor Keamanan itu merupakan implementasi prinsip desentralisasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang belum diakomodasi UU Nomor 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya.
"Penanganan konflik pada undang-undang ini mengedepankan supremasi sipil dan lokal, bukan dengan pendekatan militeristik seperti era sebelumnya," kata Hakim Suhartoyo.
Menurut MK, empat kewenangan kepala daerah pada masa konflik sosial tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Kewajiban kepala daerah untuk berkonsultasi dengan DPRD sebagai representasi rakyat menjadi alasan pembenarnya.
MK juga menyatakan, kewenangan kepala daerah menetapkan status konflik sosial sebenarnya memperpendek koordinasi antara pusat dan daerah.
Kuasa hukum pemohon, Wahyudi Djafar, menganggap putusan MK itu meneruskan ketidakpastian hukum terkait keadaan bahaya dan konflik sosial yang menurutnya memiliki definisi serupa.
Karena UU Konflik Sosial tak menghapus ketentuan UU Keadaan Bahaya, Wahyudi berkata, pada waktu dan tempat yang sama dapat muncul status keadaan bahaya yang dikeluarkan presiden, dan status konflik sosial yang ditetapkan kepala daerah.
"Seharusnya UU Konflik Sosial menghapus UU PRP 23/1959. Kalau seperti ini, MK malah melegitimasi ketidakpastian hukum pada potensi konflik," ucap Wahyudi.
(agk)