Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Aji mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang imunitas atau kekebalan hukum anggota dewan ketika diperiksa penegak hukum, tak berlaku untuk komisi antirasuah. Alasannya, KPK sudah memiliki dasar undang-undang sendiri yang bersifat khusus atau lex specialis.
"Putusan MK itu tidak diartikan sebagai lex sine scriptis bagi UU KPK. Kami terikat terhadap UU KPK," kata Indriyanto ketika dikonfirmasi CNN Indonesia, Rabu (23/9).
(Baca:
MK: Izin Pemeriksaan Anggota Dewan dari Presiden, Bukan MKD)
Anto melanjutkan, putusan MK hanya berlaku untuk tindak pidana umum dan bukan tindak pidana khusus. Penyidik komisi antirasuah, menurutnya, masih memiliki kewenangan untuk memeriksa anggota DPR, DPD, dan MPR tanpa izin presiden. KPK juga berhak memeriksa anggota DPRD Provinsi tanpa izin Menteri Dalam Negeri dan DPRD Kabupaten/Kota tanpa izin gubernur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Anto pun tetap menghormati putusan MK tersebut. "Kami harus menghormati putusan MK. Bahwa ada perdebatan MK hal ini suatu kewajaran yang nantinya patut dihormati oleh pihak berkepentingan," katanya.
Putusan MK atas gugatan nomor PUU 76/XII/2014 menetapkan pemberian izin untuk meminta keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana bukan lagi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan dari presiden.
Alasannya, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum telah diatur dalam beberapa undang-undang sebelumnya, seperti UU Mahkamah Konstitusi, UU Badan Pemeriksa Keuangan, dan UU Mahkamah Agung. Selain itu, majelis berpendapat pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan lantaran anggotanya adalah legislatif.
Putusan ini berlaku juga untuk anggota MPR dan DPD. Sementara itu, untuk pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari menteri dalam negeri. Pemanggilan anggota DPRD kabupaten kota yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari gubernur setempat.
Putusan diterbitkan atas gugatan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mewakili para pemohon yakni sejarawan JJ Rizal dan seorang advokat Febi Yonesta. Alasan mereka mengajukan permohonan uji materi karena terdapat materi muatan dalam Pasal 245 UU MD3 yang bersifat diskriminatif.
Pasal tersebut mengatur mekanisme perlakuan khusus terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, yang berpotensi mempersulit pencari keadilan dalam proses peradilan pidana.
Disebutkan dalam Pasal 245 ayat 1, bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(obs)