Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan operasi militer yang dilakukan Indonesia ke Timor Portugis (kini Republik Demokratik Timor Leste) bertujuan membendung penyebaran komunisme.
Ia pun mengakui peran negara lain pada penyelenggaraan Operasi Seroja itu.
Luhut memaparkan, sehari sebelum penerjunan pasukan militer ke Dili pada 7 Desember 1975, Presiden Soeharto bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, di Istana Merdeka, Jakarta.
Ketika itu, Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, mendampingi Ford. Menjabat posisi serupa, Adam Malik turut hadir pada pertemuan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kissenger memberikan
green light untuk operasi penerjunan pasukan ke Dili karena ketakutan pada berkembangnya komunis. Itu
briefing yang kami terima," ujar Luhut di Markas Komando Pasukan Khusus, Jakarta, Senin (7/12).
Luhut turut ambil bagian pada pengerahan pasukan militer pertama ke Dili. Pada operasi lintas udara yang dilakukan Satuan Tugas Nanggala V, Luhut yang masih berpangkat letnan satu menjabat sebagai komandan kompi.
Sepuluh tahun sebelum Operasi Seroja, Luhut menyebut Partai Komunis Indonesia berusaha melakukan kudeta terhadap pemerintah. Peristiwa 30 September 1965 itu pula yang menurut Luhut mendasari kebijakan Presiden Soeharto menguasai Timor Portugis.
"Mungkin hubungan Indonesia dan Amerika saat itu cukup dekat. Itulah politik," ucapnya.
Luhut enggan berkomentar mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang diarahkan kepada militer Indonesia atas Operasi Seroja. Ia berkata, sebagai prajurit ia hanya memiliki satu pilihan, yakni menjalankan secara maksimal perintah atasan.
"Kalau kami disalahkan, saya belajar, itu politik. Kami dituduh macam-macam, padahal kami sebenarnya melaksanakan tugas," tuturnya.
Operasi Seroja berlangsung sejak 7 Desember 1975 dan disebut berakhir tahun 1978. Pada 17 Juli 1976 Indonesia secara resmi menjadikan Timor Portugis sebagai provinsi ke-27.
Setelah integrasi itu, peperangan antara angkatan bersenjata Indonesia dan milisi pro kemerdekaan Timor Timur yang digagas Falintil, organisasi sayap militer partai Fretilin.
Pada 19 Oktober 1999, melalui sebuah referendum, penduduk Timor Timur memilih memisahkan diri dari Indonesia. Tiga tahun setelahnya, Republik Demokratik Timor Leste didirikan.
Komisi Penerimaan, Keberanaan dan Rekonsiliasi Timor Leste (CVAR) pada tahun 2006 menyatakan AS memberikan dukungan politik dan militer kepada Indonesia semasa Operasi Seroja.
Tidak hanya AS, komisi itu juga menyebut keterlibatan Australia, Inggris, Perancis dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada laporan akhir CVAR yang berjudul Chega (berarti cukup dalam bahasa Indonesia) tertulis, sekitar 180 ribu warga Timor Timur tewas di tangan militer Indonesia maupun penyebab lain seperti kelaparan, selama Operasi Seroja dan setelah integrasi.
Pada peringatan 40 tahun penerjunan Satgas Nanggala V ke Dili, Luhut menyatakan hubungan antara Indonesia dan Timor Leste terjalin baik. Ia berharap, hubungan tersebut akan terus meningkat pada masa pemerintahan Joko Widodo.
(utd)