Cerita Operasi Nanggala V dan Informasi Intelijen yang Keliru

Abraham Utama | CNN Indonesia
Selasa, 08 Des 2015 09:16 WIB
"Saya serahkan Dili kepada kalian. Tapi saya percaya besok di antara kalian pasti akan ada yang gugur," ujar Luhut Panjaitan, mengenang operasi pasukan di Dili.
Foto: CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia -- Operasi lintas udara Satuan Tugas Nanggala V untuk menerjunkan pasukan militer Indonesia pertama ke Dili, Timor Portugis (kini Republik Demoraktik Timor Leste) diperingati kemarin, Senin (7/12). Bertempat di Markas Komando Pasukan Khusus, Jakarta, sejumlah tentara yang dulu terlibat pada operasi tersebut merayakan 40 tahun penerjunan pasukan kala itu.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menjadi pusat perhatian pada peringatan itu. Luhut merupakan satu-satunya anggota Komando Pasukan Sandi Yuhda (kini Kopassus) yang mengakhiri karier kemiliteran dengan pangkat jenderal.

Luhut, yang sebenarnya menggantung seragam militer dengan pangkat letnan jenderal dan kemudian mendapatkan bintang empat dengan status kehormatan, berulang kali tak mampu menahan haru saat berbicara tentang Nanggala V.

Tahun 1975, ketika mendapatkan tugas menjadi komandan kompi A pada operasi itu, Luhut masih berpangkat letnan satu. Ia baru lima tahun lulus dari Akademi Militer di Magelang.

Luhut mengenang pernyataan seorang pria berbaju coklat yang tak ia kenal. Pria itu berbicara kepada para pasukan Satgas Nanggala V di bawah wing pesawat hercules, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

"Saya serahkan Dili kepada kalian. Tapi saya percaya besok di antara kalian pasti akan ada yang gugur," ujar Luhut menirukan ucapan pria yang belakangan dikenalnya sebagai Asisten Intelijen Hankam/ABRI, Mayor Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani.

Luhut mengatakan, perkataan Moerdani membuat para pasukan berpikir ulang. Luhut heran, mengapa harus ada koleganya yang tewas jika operasi ini didasarkan pada informasi intelijen.

Pada 7 Desember 1975, sekitar tengah malam, delapan hercules C-130B terbang dari Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur. Setelah enam jam perjalanan, pesawat-pesawat itu masuk wilayah udara Dili.

Satu per satu pasukan Nanggala V terjun. Namun menurut Komandan Nanggala V Letjen Soegito, kehadiran mereka disambut rentetan peluru yang ditembakan angkatan bersenjata Timor Portugis, Tropaz.

"Informasi yang kami peroleh tentang musuh, cuaca, dan medan pertempuran sangat terbatas. Keterangan tentang medan ternyata banyak yang keliru dan salah," ujar Soegito.

Soegito merasa tertipu. Sebelum terbang untuk perang, informasi intelijen mengatakan kemampuan personel Tropaz tidak lebih dari keahlian seorang hansip.

Padahal Tropaz adalah penjaga garis pertahanan utama Timor Portugis. Buku berjudul Hari H: 7 Desember 1975 yang diterbitkan Kata Hasta Pustaka menulis, pasukan Tropaz adalah pasukan profesional yang dilatih angkatan bersenjata Portugal berdasarkan standar NATO.

Menghadapi rangkaian serangan antipesawat, delapan hercules yang mengangkut pasukan Nanggala V pun menghindar. Akibatnya, 72 personel gagal terjun. Luhut merupakan satu di antaranya.

Sementara itu, Danki B Kapten Atang Sanjaya dan Danki C Atang Sutresna tetap terjun. Sanjaya mengaku tertembak di bagian telapak tangan dan kaki kanan dan kirinya.

"Saya begitu turun, tertembak tangan dan kaki kiri-kanan. Tapi saya tetap laporan," kata Sanjaya yang kini berusia 76 tahun.

Di sisi lain, usai penerjunan, Sutresna justru kehilangan nyawa di Kantor Gubernur Dili.

Abdul Manan, seorang kopral yang kala itu berhasil terjun dan melanjutkan operasi berkata, ia dan koleganya sama sekali belum pernah mengenal Dili. "Serba baru, saya tidak tahu situasi di sana. Ternyata, ketika itu Timor Portugal masih memiliki personel kenegaraan yang lengkap," ujarnya. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER