MK Kabulkan Sebagian Gugatan Aturan Kawasan Hutan

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Kamis, 10 Des 2015 17:40 WIB
Tim Advokasi Antimafia Hutan menyayangkan UU Kehutanan tidak dibatalkan. Padahal dinilai represif karena menyasar masyarakat.
Ilustrasi. Pengendara motor melintas di kawasan hutan jati yang sudah gundul dan belum direboisasi di Desa Cendoro, Dawarblandong, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (12/11). (ANTARA FOTO/Syaiful Arif)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Kamis (10/12), memutuskan gugatan aturan penetapan kawasan hutan. Hakim MK hanya mengabulkan sebagian permohonan uji materi undang-undang (UU) yang diajukan para pemohon.

Ada 10 pemohon yang mengajukan pengujian materil UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004.

"Amar putusan, mengadili, memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan di Gedung MK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hakim MK mengabulkan Pasal 50 ayat 3 huruf e dan huruf i UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. MK menyatakan, hal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 50 ayat 3 huruf e UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan lembaran negara RI tahun 1999 Nomor 167, tambahan lembaran negara RI Nomor 3888, berbunyi, setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.

Sementara pada Pasal 50 ayat 3 huruf e UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan lembaran negara RI tahun 1999 nomor 167, tambahan lembaran negara RI nomor 3888, berbunyi sebagai berikut, setiap orang dilarang menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh yang berwenang, sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.

Perkara dengan nomor 95/PPU-XII/2014 ini dimohonkan oleh masyarakat hukum adat Nagari Guguk Malalo Mawardi, Edi Kuswanto, Rosidi bin Parmo, Mursid bin Sarkaya, Yayasan Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria, perkumpulan pemantau sawit, Indonesia Corruption Watch, Yayasan Silvagama.

Salah satu anggota Tim Advokasi Antimafia Hutan Andi Muttaqien mengatakan, menghargai putusan MK. Namun dia menyayangkan UU Kehutanan tidak dibatalkan. Padahal menurutnya, yang lebih utama UU Kehutanan karena dinilai represif menyasar masyarakat.

"Kami apresiasi pertimbangan MK dan mengabulkan Pasal 50 ayat 3 huruf e dan i, karena UU kehutanan tidak dibatalkan dengan adanya uu P3H, jadi dia pertimbangkan," kata Andi usai sidang.

Dia kecewa MK tidak mempertimbangkan argumentasi, pernyataan ahli ataupun keterangan saksi selama persidangan atas UU P3H. Meskipun dalam petitumnya menyatakan keseluruhan UU P3H minta dibatalkan, seharusnya MK bisa mempertimbangkan pasal-pasal yang diujikan.

Dia menjelaskan dalam petitum, pihaknya meminta seluruh UU P3H dibatalkan karena pasal yang diuji adalah pasal utama yang ada di UU P3H. "Jadi wajar kalau di dalam petitum keseluruhan UU P3H harus dibatalkan," katanya.

Meski demikian dia menyambut baik putusan MK, meskipun MK mengabulkan hanya sebagian. "Hak masyarakat adat yang sudah hidup turun temurun melalui putusan ini, di satu sisi kami apresiasi MK menegaskan hak-hak mereka," katanya.

Menurut Andi, pasal itu menegaskan bahwa orang-orang yang sudah turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan meskipun mengambil kayu dan menggembalakan ternaknya tidak boleh dipidana.

"Selama ini sering terjadi. Pasal ini yang sering mengkriminalkan masyarakat, bahkan kalau lewat kawasan hutan sudah bisa dikenakan (pidana)," ujar Andi.

Sementara perwakilan masyarakat adat, Mawardi Datuk Maliputi ikut menyambut baik lantaran acaman pidana terhadap aktivitas masyarakat adat yang telah turun temurun hidup di kawasan hutan, kini tidak berlaku lagi.

"Atas putusan MK, kami merasa sedikit terlindungi dengan pengecualian dari putusan tadi,"

Mawardi mengatakan, masyarakat adat di kawasannya di daerah Sumatra Barat pernah ada yang ditangkap karena menebang pohon di kebunnya sendiri, di dalam kawasan hutan lindung.

"Kami masyarakat yang sudah turun temurun sebelum belanda menjajah ke negeri kita, sudah menjadi pemukiman, jadi wilayah adat, ternyata belakangan ditunjuk saja sebagai hutan lindung, masuk semua sawah ladang di dalam kawasan jadinya," katanya.

Sebelumnya, pada September 2014, Tim Advokasi Anti Mafia Hutan mewakili petani, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil mengajukan uji konstitusionalitas atas UU P3H ke MK. Sidang pertama dilaksanakan pada 14 Oktober 2014. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER