Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pembentukan panitia khusus atau Pansus Freeport di DPR menuai kritik dari banyak kalangan. Pansus dianggap hanya akan mengaburkan inti persoalan dan menyelamatkan Ketua DPR Setya Novanto yang terjerat polemik Freeport.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit berpendapat, pembentukan Pansus Freeport hanya mengalihkan persoalan secara substansial dan prosedural. Menurutnya, persoalan etik merupakan urusan Mahkamah Kehormatan Dewan, sementara masalah kriminal menjadi urusan Kejaksaan Agung.
"Pansus ini mengalihkan fokus masalah, mengaburkan persoalan, pembahasan jadi berlarut larut, ujung-ujungnya orang-orang jadi bosan dan menerima saja atau diam karena sudah bosan," kata Arbi kepada CNN Indonesia, Selasa (15/12).
Dia menegaskan pembentukan pansus tidak perlu dilakukan. "Untuk apa gunanya pansus kalau mengaburkan persoalan, kalau mau menutupi masalah," ujar Arbi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arbi juga menyampaikan, persoalan perpanjangan kontrak, pembagian saham yang tidak dipenuhi Freeport, bukan menjadi urusan DPR. Hal itu merupakan kewenangan eksekutif, dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan pembantunya.
Menurut Arbi, perundang-undangan maupun keputusan presiden yang mengatur kontrak Freeport saat ini belum dilaksanakan sepenuhnya. Dia mengusulkan agar pemerintah mengadakan negosiasi ulang kontrak Freeport.
"Kalau peraturannya enggak benar tinggal bikin perubahan peraturan. Itu wilayah eksekutif bukan DPR. Renegosiasi ulang untuk keadilan. Itu yang dibicarakan dalam negosiasi ulang, bukannya diambil alih," ujarnya.
Dia menilai wacana nasionalisasi kurang tepat dilakukan pada situasi saat ini. Negara-negara dunia hari ini mengarah pada keterbukaan ekonomi. Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
"Kalau nasionalisasi berarti kita sudah menolak keterbukaan ekonomi, sedangkan dunia sekarang ekonominya terbuka. ASEAN, APEC, organisasi ekonomi dunia semua terbuka. Apa Indonesia mau menutup diri," jelasnya.
Nantinya, negosiasi ulang dilakukan agar hasil tambang Freeport lebih menguntungkan Indonesia untuk kemakmuran rakyatnya. Arbi mengatakan, kontrak Freeport merupakan produk Orde Baru.
"Itu kan negara orde baru yang ngerjain (kontrak Freeport), yang mau disogok. Orang-orang itu yang harusnya diadili kalau memang mau mencari keadilan. Masih ada manusianya di sini sekarang, Ginandjar, misalnya. Dia dulu yang bikin perpanjangan," ujar Arbi.
Namun Arbi ragu Presiden Jokowi berani membuat renegosiasi yang bisa menguntungkan negara. Jokowi dinilai tidak cukup kuat meskipun beberapa menterinya ada yang menginginkan pemutusan kontrak. Pasalnya, pemerintahan hari ini tidak cukup berani, kompak, inovatif dan kreatif.
"Modal Freeport sudah tertanam begitu besar. Kepentingan Amerika ada di situ dan Amerika akan tetap membela Freeport, kita akan berhadapan negara lawan negara," katanya.
Di sisi lain, desakan rakyat dalam kasus Freeport dinilai belum cukup kuat. Arbi mengatakan, masyarakat hanya kuat di media sosial. Itu pun tidak seluruhnya.
"Yang main itu (media sosial) berapa ratus ribu. 250 juta (rakyat) mainnya cuma 200 ribu, di mana kekuatannya," tanya Arbi.
Di luar polemik Freeport yang melibatkan Ketua DPR dan beberapa menteri, desakan nasionalisasi Freeport mulai menguat di tengah masyarakat. Beberapa aksi demonstrasi dilakukan oleh berbagai kalangan.
Nasionalisasi FreeportSalah satunya, Front Nasionalisasi Freeport (FNF) yang sore ini kembali menggelar unjuk rasa menuntut nasionalisasi aset negara yang dikuasai Freeport. Sebelumnya, FNF menggelar aksi di kantor pusat PT Freeport Indonesia. Mereka juga melakukan bagi-bagi bunga saat Car Free Day lalu, sebagai tanda solidaritas untuk Papua.
Koordinator Pusat FNF, Ide Bagus Arief menilai persidangan MKD menunjukan polemik dua geng di tubuh elit yang saling berebut Freeport. Mereka, lanjut Ide, tengah memainkan perannya masing-masing.
"Mereka samua antek asing pro Freeport. Apapun yang dikatakan para-pihak dalam sidang MKD hanya mengaburkan fakta bahwa secara politik, legislatif dan eksekutif di bawah kendali Freeport dan Amerika," katanya.
Ide berpendapat, kehadiran Amien Rais ke DPR hanya untuk memperkuat operasi mengamankan Freeport. Dia menilai polemik nasionalisasi Freeport ditunggangi elit untuk mendapatkan sumber dana bagi kepentingan kroni-kroninya.
"Amien Rais sekarang tiba-tiba muncul, sepertinya dialah yang di garda terdepan mengusir Freeport. Dia itu spesialis pahlawan kesiangan. Dari dulu, sejak '98. Dia sepertinya sudah amnesia," kata Ide.
Dia menegaskan bahwa pihaknya menolak pembentukan Pansus Freeport oleh DPR. "FNF tidak akan membiarkan elite-elite rakus pemburu rente, baik itu pejabat publik atau petinggi partai, menjarah dan menjual kekayaan republik," tegasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra Fadli Zon mengungkapkan, DPR akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia. Fadli menilai, langkah membentuk pansus akan memperjelas posisi Freeport selama ini.
"Dengan pansus tersebut, kami akan mengungkap siapa yang ada di dalam Freeport. Kita juga akan tahu seberapa besar yang seharusnya negara terima. Karena selam ini terbilang kecil," ujar Fadli dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta pada pekan lalu.
(pit)