Jakarta, CNN Indonesia --
Pengamat hukum pidana dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu berkaca pada lembaga serupa di Hong Kong, Independent Commission Against Corruption (ICAC), untuk menindak aparat penegak hukum yang terindikasi korupsi.
Penindakan tersebut menjadi salah satu tantangan komisi antirasuah di tangan lima punggawa yang akan dipilih oleh DPR untuk lima tahun ke depan. Alhasil, KPK butuh pimpinan yang independen dan terlepas dari konflik kepentingan dua aparat penegak hukum yakni Kejaksaan dan Kepolisian.
ICAC, menurut Miko, dapat berhasil dengan memenjarakan Kepala Kepolisian setempat yang terbukti menyimpan duitnya di luar negeri senilai HK$4,3 juta dan US$600 ribu. Sejurus kemudian, kerusuhan dan konflik pecah. Aparat kepolisian pun menyerbu kantor ICAC. Namun lambat laun konflik mereda.
"Keberhasilan efektivitas pemberantasan korupsi dimulai dari pembersihan institusi penegak hukum yang ada. KPK dibangun dengan semangat yang sama karena Kejaksaan dan Kepolisian tidak efektif memberantas korupsi jadi yang harus diprioritaskan ke depan pembersihan institusi itu," kata Miko saat berbincang dengan CNN Indonesia, Kamis (17/12).
Miko mengatakan upaya serupa pernah ditindak oleh komisioner KPK sejak tahun 2009 saat mengusut petinggi kepolisian, Susno Duadji, yang terjerat kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar senilai Rp 8 miliar dan suap senilai Rp 500 juta dalam kasus pengalihan berkas PT Salmah Arowana Lestari (SAL) ke Bareskrim Polri. Susno divonis 3,5 tahun penjara.
Pihak Kepolisian menyerang balik KPK dengan menetapkan dua pimpinan KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka. Keduanya disangka menerima duit dari adik tersangka kasus Sistem Korupsi Radio Terpadu (SKRT) Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo.
"Risikonya memang ada, misalnya dalam konteks KPK Indonesia, tiap kali mengusut perkara pejabat aktif di Kepolisian yang ada serangan balik. Tahun 2009 ada kasus Bibit dan Chandra," katanya.
Berselang tiga tahun, KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) pada tahun 2012 silam. KPK mengungkapan adanya kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah dalam proyek pengadaan tahun anggaran 2011 tersebut. Tak berselang lama, Polri memutuskan untuk mencabut sejumlah penyidiknya yang tengah diperbantukan ke KPK.
"Ada serangan balik ketika penyidik Novel Baswedan dikriminalkan saat usut Djoko Susilo. Tiga tahun selanjutnya, tahun 2015 KPK jug adiserang ketika usut Komjen Budi Gunawan," ujarnya.
Untuk melancarkan pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien, Miko mengatakan perlu tiga kriteria yakni independen, pemahamam korupsi dan hukum acara pidana yang kuat, serta pemahaman kelembagaan KPK yang intensif.
"Misalnya apa itu dua alat bukti yang cukup, penyidikan ke penyelidikan bagaimana. Ini pemahaman gambaran besar soal korupsi dan hukum acara pidana," ujarnya.
Selain tiga kriteria tersebut, Miko mengatakan perlunya dukungan politik yang kuat dari pemerintah terhadap KPK. Keberhasilan ICAC Hong Kong, menurutnya, diperkuat dengan dukungan pemerintah yang memasukkannya dalam hukum konstitusi.
"Gubernur Jenderal Hong Kong juga memberikan dukungan kelembagaan dan finansial. Dukungan finansial mendukung penanganan kasus," ucapnya.
Tiga Nama Patut Diwaspadai
Miko berpendapat unsur pimpinan dari Kejaksaan dan Kepolisian tak akan menetralkan posisinya ketika menjabat sebagai punggawa antirasuah. Artinya, Miko melihat ada potensi konflik kepentingan.
"Pimpinan KPK harus terlepas dari institusi-institusi itu, tidak boleh berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan kalau mau menindak dua aparat itu," katanya.
Miko mewanti-wanti calon pimpinan asal Polri, Irjen Basaria Panjaitan yang berpotensi tak independen. Selain itu, Basaria dinilai tak memahami penuh fungsi penindakan KPK dan bakal membuat KPK menjadi pusat pelaporan alih-alih penindakan korupsi.
"Itu kan pemahamanan kelembagaan KPK belum cukup kuat," katanya.
Selain Basaria, nama lain yang menurut Miko patut dicurigai adalah Hakim Adhoc Alexander Marwata. Alex dinilai tak konsisten ketika memutus suatu kasus. Pemahaman soal kewenangan penuntutan pencucian uang oleh KPK pun dinilai masih lemah.
"Kami menemukan ada beberapa putusan yang dia tidak konsisten, termasuk pemaknaan penuntutan pencucian uang. Di kasus Atut (Ratu Atut Choisiyah, gubernur nonaktif Banten), dia dissenting membantah fakta tanpa didasari argumentasi yang relevan. Tapi itu tidak terjadi di kasus Wa Ode Nurhayati," katanya.
Nama lainnya yakni staf Badan Intelijen Negara (BIN) Saut Situmorang. Menurut Miko, Saut tidak memiliki latar belakang penegakan hukum dan minim pemahaman akan hukum acara pidana.
"Saut sudah beberapa kali ikut seleksi dan tidak lolos. Ini kan juga jadi catatan. Kenapa tahun sebelumnya tidak lolos tapi sekarang lolos? Kan jadi catatan juga," katanya.
Seperti diketahui, DPR telah menguji 10 nama kandidat calon pimpinan KPK. Mereka adalah Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Thony Saut Situmorang, Dosen Fakultas Hukum Unika Atmajaya Surya Candra, Hakim Adhoc Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Alexander Marwata, Purnawirawan Polri Basaria Panjaitan, serta Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo.
Ada pula Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Laode Muhammad Syarif. Selain mereka, ada pakar hukum Roby Arya Brata dan mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(bag)