Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebenarnya sudah sebulan lebih aturan yang melarang layanan transportasi berbasis daring seperti Uber Taksi, Go-Jek, Go-Box, Grab Taksi, Grab Car, Blu-Jek serta Lady-Jek dan sejenisnya ditandatangani Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
Tepatnya 9 November 2015. Pengumuman resminya saja yang baru dilakukan Kamis (17/12).
Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang.
Semua aturan dan undang-undang itu intinya berbicara tentang larangan kendaraan pribadi digunakan sebagai kendaraan angkutan umum. Seperti tercermin dari pengumuman menteri tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pro-kontra langsung menyeruak. Atau yang kontra lebih bergemuruh. Karena peraturan yang dikeluarkan oleh Ignasius Jonan bertabrakan langsung dengan jasa transportasi berbasis daring yang memang menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi umum.
Masyarakat yang telah terbantu, dan ini sangat luas, kehilangan sebuah layanan yang murah, mudah, dan terpercaya.
Masyarakat kehilangan sebuah “sistem transportasi” untuk, sedikit banyak, mengatasi kesemrawutan transportasi di Jakarta.
Jangan bicara terlalu jauh soal kenyamanan, tapi minimal perihal harga yang lebih masuk akal.
Tidak lagi ada tembak harga, semua telah dihitung sesuai argo dan diatur hingga menyenangkan semua pihak. Pengendara, penyedia layanan dan penumpang sama-sama tahu dan sama-sama sepakat.
Lalu di mana pemerintah? Mungkin mereka masih terus berkutat mencari cara membangun transportasi yang lebih manusiawi, meski hingga berpuluh tahun itu belum terealisasi.
Mereka sepertinya lebih doyan menggenjot agar kendaraan dari pabrik lebih banyak terserap di masyarakat ketimbang membangun sistem transportasi yang manusiawi.
Di Jakarta saat ini ada sekitar 13 juta kendaraan roda dua dan hampir tiga setengah juta kendaraan roda empat. Pertumbuhannya per tahun sekitar 12 persen. Padahal panjang jalan di Jakarta ini hanya 7.028 kilometer terhitung dari tahun 2010 dengan penambahan sekitar 0,01 persen setiap tahun.
Kepadatan lalu lintas, tingginya pertumbuhan kendaraan, regulasi yang semrawut dipadukan dengan kebutuhan akan transportasi cepat dan murah, maka ada inovasi teknologi yang mengakomodasinya. Seperti kemunculan layanan transportasi berbasis daring yang mulai ramai di awal 2015.
Benar, segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak perlu diatur. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, negaralah yang punya kuasa mengatur.
Tetapi sangat tidak bijak untuk kemudian melarang begitu saja sebuah inovasi yang sangat membantu hanya karena, kalau betul itu, melanggar aturan dan undang-undang. Logikanya undang-undang dibuat untuk mengatur dan menata, bukan untuk memancung.
Maksudnya, aturan dan undang-undang harus disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kemajuan (teknologi).
Pemerintah semestinya membaca fenomena dan membuat regulasi yang sesuai. Dalam kasus transportasi berbasis daring, menerimanya sebagai sebuah bantuan untuk mengurai keruwetan transportasi dan bukan menjadikannya sebagai kambing hitam baru.
Pemerintah Indonesia hanya perlu memberikan kepastian regulasi bagi mereka yang telah berkontribusi dalam bisnis ini.
Dengan memberikan kepastian kepada pengendara dari sisi ekonomi, juga regulasi bagaimana agar keselamatan konsumen bisa terjamin, dengan mencari opsi lain selain mengeluarkan larangan saat masa transisi.
Keputusan pemerintah ini juga sangat sepihak dan sok kuasa.
Kebijakan yang ditandatangani bekas Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia itu hanya diberikan ke tujuh instansi, tidak ada satu pun yang menembuskannya kepada pihak pengelola start-up layanan transportasi yang terdampak langsung.
Tembusan hanya diberikan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Gubernur seluruh Indonesia, Kapolda seluruh Indonesia, Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda).
Kini Jonan sudah melunak. Ia memperbolehkan transportasi berbasis daring beroperasi hingga transportasi umum membaik dan layak. Entah kapan itu akan tercapai.
Ada satu hal yang sangat baik untuk diambil hikmahnya dari semua peristiwa ini. Pemerintah harus mulai belajar menerima ide, inovasi (dan kebaikan) dari bawah.
Rakyat jangan melulu disuapi dengan berbagai macam produk legislasi yang justru menghambat ide dan inovasi, yang sebetulnya malah membantu pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada.
(dlp)