Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Divisi Pesisir dan Kelautan Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Reynaldo Sembiring menilai proyek reklamasi di berbagai daerah terbilang diskriminatif dan dilaksanakan dengan proses yang tertutup.
Dalam persoalan ini, Reynaldo juga mengkritik proyek reklamasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Tindakan Ahok yang meneruskan warisan buruk dalam pembangunan proyek reklamasi di Pantai Jakarta tidaklah tepat," kata Reynaldo di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (22/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Reynaldo menilai, kebijakan reklamasi Ahok yang berlindung dengan Keputusan Presiden No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak relevan.
Alasannya sudah ada aturan-aturan baru terkait tata ruang, perlindungan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, Reynaldo menilai, reklamasi dapat memperparah kondisi lingkungan di Teluk Jakarta. Alih-alih merevitalisasi, reklamasi akan menimbulkan kubangan limbah akibat arus air terhalang dataran baru.
"Proyek ini berpotensi menimbulkan banjir di Jakarta semakin meluas. Mengingat terdapat 13 sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta," kata Reynaldo.
Selain itu, kebijakan reklamasi pun tidak dilakukan secara transparan, partisipatif dan mengesampingkan nasib nelayan kecil di sekitar Pantai Jakarta Utara.
Hal ini terlihat dalam Kajian Lingkungan Hidup dan Strategis (KLHS) yang tidak dipublikasikan. Termasuk proses pembuatan AMDAL dan penerbitan izin reklamasi yang tidak melibatkan masyarakat sekitar.
Kondisi serupa diperlihatkan pada reklamasi di Tanjung Benoa, Kota Manado dan Teluk Palu yang menyebabkan kerusakan lingkungan serta mengurangi hasil tangkapan nelayan.
"Sangat disayangkan proyek-proyek tersebut tetap dipertahankan dengan hanya mengatasnamakan keuntungan ekonomi," ujar Reynaldo.
Bertolak Belakang dengan Visi Maritim JokowiTak hanya merugikan dari sisi lingkungan, proyek reklamasi Pantai Jakarta dinilai mengangkangi visi maritim Presiden Joko Widodo yang menginginkan laut sebagai halaman depan Indonesia.
Reynaldo mengatakan, meski pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan saat ini semakin memburuk, kinerja penegakan hukum di wilayah laut masih menunjukan hasil positif.
Hasil positif itu berdasarkan Laporan Kinerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SKDP) yang menunjukkan operasi pengawasan illegal fishing telah menangkap 136 kapal dan penenggelaman 107 kapal ikan hasil tangkapan.
Direktur Eksekutif ICEL Hendry Subagyo menegaskan persoalan ini menunjukan konsistensi pemerintahan Jokowi masih lemah dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup khususnya di wilayah pesisir dan kelautan.
Meski dinilai memiliki komitmen, pemerintahan Jokowi belum memperlihatkan kemauan untuk melakukan terobosan dan pembaruan dalam aspek kebijakan serta penegakan hukum.
"Komitmen pemerintah belum diimbangi dengan terobosan dan pembaruan hukum di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam," kata Hendry.
Hendry merekomendasikan agar pemerintahan Jokowi melakukan review terhadap Keppres terkait reklamasi dan membatalkan proyek tersebut.
Sebelumnya, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia M. Taher menyatakan seluruh warga Muara Angke dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat menolak adanya reklamasi Pulau G di kawasan Teluk Jakarta.
Reklamasi tersebut dianggap akan memperburuk kehidupan masyarakat lokal dan merusak alam.
"Klaim bahwa 80 persen masyarakat menerima adalah kebohongan yang nyata. Proyek reklamasi tersebut hanya akan berujung kepada penurunan derajat kualitas hidup nelayan dan masyarakat pesisir," ujar Taher di Lapangan Bola Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu (2/12).
Taher mengatakan reklamasi sangat jelas akan mempercepat kerusakan lingkungan dan menambah perubahan iklim. Reklamasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berbanding terbalik dengan upaya Indonesia dan dunia untuk memperjuangkan perbaikan terhadap alam.
(meg)