Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Krishna Murti menyatakan penyidik telah memeriksa sejumlah saksi untuk mengungkap praktik pengobatan klinik Chiropractic First yang diduga menyebabkan tewasnya Allya Siska Nadya (33), putri mantan Wakil Direktur Komunikasi Perusahaan Listrik Negara Alvian Helmy Hasjim.
"Penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan berbagai langkah, antara lain sudah memeriksa 11 saksi, 3 saksi ahli dan kami mendapatkan beberapa fakta yang menarik dari kasus ini," ujar Krishna di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (7/1).
Namun, Krishna mengaku penyidik mengalami kendala untuk mengungkap dugaan malpraktik tersebut. Pasalnya, keluarga Allya menolak dilakukannya autopsi terhadap jenazah Allya yang telah dimakamkan. Padahal menurut Krishna, setiap kasus tindak pidana yang menyebabkan kematian membutuhkan pemeriksaan medis untuk mengetahui penyebab kematiannya, tidak terkecuali dalam kasus kematian yang disebabkan oleh malpraktik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Problem utama untuk proses kasus ini berlanjut terhadap kasus dugaan malpraktik. Kala itu keluarga korban tidak ingin dilakukan autopsi karena lakukan autopsi harus seizin keluarga korban. Jenazah juga sudah dimakamkan, ini kesulitan. Bahkan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan harus ada visum terhadap tubuh korban, apalagi ini kasus malpraktik," ujar Krishna.
Lebih lanjut, Krishna mengaku saat ini penyidik mensiasati penyidikan dengan mengarahkan kasus pada legalitas praktik pengobatan yang dilakukan oleh Chiropractic First di Indonesia, yang salah satunya berlokasi di Pondok Indah Mal 1, Jakarta Selatan, tempat Allya melakukan terapi.
"Sekarang kami mensiasati kasus ini dengan melakukan pengecekan terhadap perizinan dari klinik ini. Kami mendapatkan fakta tidak ada izin terhadap praktik ini. Padahal seharusnya mendapatkan izin dari Dinas Kesehatan," ujar Krishna.
Krishna mengaku, dengan menyidik perizinan, penyidik nantinya bisa mengembangkanya ke arah proses pengobatan yang diterapkan oleh klinik tersebut.
"Kami menggulirkan kasus ini kepada kasus praktik pengobatan kesehatan tanpa izin. Nanti baru kita cari fakta-fakta, tentang apa saja yang dilakukan terhadap korban (Allya)," ujar Krishna.
Semantara itu, Krishna juga mengatakan Polda Metro Jaya berencana untuk membawa dokter Forensik Polda Metro Jaya menemui keluarga Allya lagi sebagai langkah untuk mendapatkan izin autopsi jenazah Allya.
"Sekarang kasus ini jadi bahan pembicaraan, kami akan datang lagi ke keluarga korban dengan membawa dokter forensik kami dan menawarkan sekali lagi kepada keluarga korban, apakah diizinkan membongkar jenazah di pemakaman untuk dilakukan autopsi. Karena ini salah satu alat bukti yang diperlukan dalam menentukan telah terjadi malpraktik atau tidak," ujar Krishna.
Krishna juga menyatakan saat ini Kepolisian telah melakukan penyegelan terhadap beberapa klinik Chiropractic First yang beroperasi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Langkah penyegelan tersebut juga dilakuan untuk menunjukkan kepada publik bahwa Kepolisian tidak lambat mengungkap kasus dugaan malpraktik tersebut.
"Diduga ada enam lokasi, kami akan periksa yang menyewakan ruangan dalam hal ini kalau mal dan sebagainya. Kemudian cekal kami kirimkan, kalau terlapor (dr Randal Cafferty) melarikan diri ke luar negeri, kami akan menerbitkan red notice," ujar Krishna.
Kronologi kejadian berdasarkan laporan ke polisiKrishna menceritakan kronologi kasus dugaan malpraktik tersebut. Kejadian ini bermula dari adanya rekomendasi tempat terapi dari saudara nya kepada Allya. Saat itu Allya mengatakan bahwa dia merasa sakit di bagian leher belakangnya. Allya dan orang tuanya kemudina mendatangi tempat terapi tersebut yang diketahui adalah klinik Chiropractic First di PIM 1, Jakarta Selatan.
Saat itu, kata Krishna, Allya menjalani beberapa proses diantaranya analisa media dan perawatan awal. Hingga akhirnya Allya disodori sejumlah paket pengobatan oleh klinik tersebut. Ada sejumlah paket yang ditawarkan, salah satunya paket pengobatan sebanyak 40 kali dengan biaya sebesar Rp17 juta.
"Yang bersangkutan mengambil paket 40 kali, dengan biaya Rp17 juta, dengan harapan gangguan yang terjadi di kepalanya karena sering duduk di komputer dapat terobati, faktanya setelah sore pada tanggal 6 Agustus dilakukan pengobatan, malam harinya korban mengeluh sakit di lehernya sehingga dibawa ke Rumah Sakit Pondok Indah," ujar Krishna.
Namun nahas, keesokan harinya Allya meninggal dunia dan langsung dimakamkan. Keluarga Allya sendiri baru melaporkan dugaan malpraktik ke Polda Metro Jaya pada hari Rabu (12/8) tahun lalu.
(chs)