Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah memunculkan opsi revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang atau menerbitkan Perppu.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menuturkan, kedua opsi tersebut juga telah disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin. Ia menjelaskan, perbedaan kedua opsi tersebut didasarkan pada lamanya waktu yang diperlukan. Revisi Undang-Undang Antiterorisme akan memakan waktu lebih lama daripada penerbitan Perppu.
"Oleh DPR disampaikan apakah mau ada perubahan revisi dari UU itu atau mau Perppu. Tapi intinya, kami mau memberikan kewenangan untuk
preemptive (kekuasaan untuk melakukan upaya pencegahan)," ujar Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (19/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, papar Luhut, baik polisi maupun unsur-unsur keamanan bisa melakukan penangkapan sementara untuk mendapatkan keterangan, sehingga bisa mencegah kejadian-kejadian yang terindikasi bersifat teror berikutnya.
"Bisa mungkin seminggu atau dua minggu penahanan itu. Sudah itu, dilepas, karena kami juga melihat seperti di Malaysia atau Singapura. Malaysia
security act untuk keamanan dalam negeri. Kira-kira bentuknya seperti itu," katanya.
Luhut menyebutkan, ada macam-macam kriteria penangkapan sementara yang akan digunakan untuk menghindari kejadian salah tangkap, salah satunya dengan mendapatkan informasi yang bocor dan melakukan cross check informasi tersebut kepada pihak kepolisian.
Luhut mengungkapkan, mulai sekarang pihaknya sudah diperintahkan Presiden Joko Widodo untuk megurus kedua opsi tersebut, karena pemerintah ingin agar peraturan ini nantinya bisa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Ia pun yakin bahwa DPR akan mendukung langkah pemerintah kali ini.
"Tadi Pak Ketua DPR bilang, tahun lalu cuma tiga UU, tahun ini beliau target paling tidak 30 sampai 37. Jadi itu menunjukkan suatu keseriusan dari mereka. Kami berharap (revisi UU Antiterorisme atau penerbitan UU) bagian dari itu juga," ujarnya.
Mantan Kepala Kantor Staf Presiden itu mengatakan, pemerintah tentu mempertimbangkan unsur hak asasi manusia (HAM) dan unsur lainnya. Menurutnya, pemerintah lebih memilih untuk melakukan tindakan tegas kepada beberapa orang yang tindakannya bisa menimbulkan kemungkinan pelanggaran hukum seperti kekerasan.
Luhut juga menuturkan, tidak ada perluasan kewenangan kepolisian dalam penangkapan sementara. Ia berpendapat, pihak kepolisian telah melakukan tugasnya dengan baik dan bisa membantu dalam hal pencegahan.
Di sisi lain, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly memastikan bahwa pemerintah memilih untuk merevisi UU Antiterorisme daripada menerbitkan Perppu. Ia mengaku telah memiliki konsep dan siap memasukkan konsep tersebut ke dalam Prolegnas 2016 dan DPR siap untuk mempercepat prosesnya.
"Kita Undang-Undang saja," katanya.
Ia melanjutkan, "kami siapkan, DPR siap membahas. Ada beberapa poin yang nanti kami selesaikan. Kami rapat koordinasi dulu antara kementerian, Densus, Polri, dan Menkopolhukam."
Siang tadi, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin sepakat dengan gagasan Presiden Jokowi mengenai peraturan tersebut.
Zulkifli bercerita bahwa dalam rapat konsultasi yang digelar di Istana Negara tadi hampir ada kesepakatan bersama mengenai pentingnya revisi Undang-Undang Antiterorisme dengan memperluas atau melengkapi peraturan tersebut, terutama masalah pencegahan.
Politisi Partai Amanat Nasional itu menjelaskan, selama ini tidak ada pasal yang melarang orang yang berlatih untuk tindakan terorisme. Menurutnya, tidak adanya dasar hukum itulah yang menyebabkan banyaknya warga Indonesia yang pergi ke luar negeri, termasuk ke Suriah, untuk berlatih tindakan terorisme.
"Sepaham. Apakah melalui Perppu, apakah melalui revisi UU, karena revisi kan lama, perlu waktu. Kalau dianggap mendesak, banyak teror, bisa Perppu. Itu nanti Perppu itu jalan dan disahkan oleh DPR juga," ujar Zulkifli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Adapun Ade Komarudin menyampaikan bahwa para anggota dewan di DPR menghargai pemerintah dan seluruh aparat keamanan yang sangat sigap dan cepat memberikan rasa nyaman pada masyarakat atas peristiwa teror pengeboman dan penembakan yang terjadi di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
"Untuk UU (Antiterorisme), kami setuju untuk dilakukan revisi. Cuma kami juga memberikan pandangan bahwa revisi itu memerlukan waktu, karena memang prosedur dan tahapan-tahapan harus dilalui," ujar Ade.
Ia melanjutkan, "tetapi kami juga menyarankan, jika itu perlu waktu sementara, kita ada kegentingan, memaksa ya tidak apa-apa. Pemerintah bisa mengeluarkan Perppu mengenai itu," katanya.
Ade menyimpulkan, para anggota dewan setuju dengan gagasan sang kepala negara, namun jika memang peraturan tersebut harus direvisi, maka harus memperhatikan tenggat waktu yang diperlukan untuk memproses revisi tersebut.
"Jadi dua, revisi, kami setuju saja, cuma risikonya perlu waktu. Kalau mau cepat, Perppu juga enggak apa-apa. Yang jelas, dewan dua-duanya oke," ujarnya.
Ketika membuka rapat konsultasi, Presiden Jokowi mengajak para undangan untuk mengkaji lagi apakah payung hukum antiterorisme, yang berupa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, sudah cukup memadai dalam melakukan pencegahan aksi terorisme atau memang perlu direvisi. Menurutnya, perubahan yang sangat cepat terjadi pada idelogi terorisme.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya juga menjelaskan, wacana tersebut muncul dari pengalaman terjadinya teror pengeboman dan penembakan di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu.
Ia bercerita, sebenarnya sejak November 2015 lalu aparat keamanan telah mendeteksi adanya aktivitas di luar kewajaran yang berkaitan dengan tindakan teror. Namun, ucapnya, UU Nomor 15 Tahun 2003, sebagai bagian dari persetujuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002, itu menyebutkan bagian-bagian yang tidak mendukung pemerintah untuk bisa melakukan tindakan.
"Sebagai contoh adalah diketahui latihan simulasi rancangan untuk membuat bom dan simulasi itu menggunakan bahan dari kayu. Nah ketika itu sebagai alat bukti, ternyata tidak bisa, karena Undang-Undang tidak memungkinkan preventif untuk itu," ujar pria yang akrab disapa Pram itu.
(bag/bag)