Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil survei Transparency International bertajuk "Government Defence Anti-Corruption Index 2015" menunjukkan risiko korupsi di tubuh militer Indonesia tergolong tinggi.
Ada enam kategori nilai dalam indeks ini, di antaranya A (sangat rendah), B (rendah), C (sedang), D (tinggi), E (sangat tinggi), dan F (kritis).
Dalam indeks ini Indonesia mendapatkan nilai D. Nilai tersebut sudah mengalami kenaikan dari tahun 2013 di mana Indonesia menyandang nilai E.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kawasan Asia Pasifik, risiko korupsi Indonesia sekelas dengan Bangladesh, India, Malaysia, dan Filipina. Tiongkok, Pakistan, Sri Lanka, dan Thailand masuk kategori E. Adapun, negara tetangga seperti Kamboja dan Myanmar mendapatkan nilai lebih buruk yaitu F.
Sementara nilai C didapatkan oleh Korea Selatan. Negara Singapura, Australia, Jepang, dan Taiwan masuk kategori B. Adaun, Nilai A disandang oleh Selandia Baru.
Dalam lingkup G20, risiko korupsi Indonesia sekelas dengan India, Rusia, Afrika Selatan, dan Turki. Sementara, nilai A didapatkan oleh Inggri dan nilai B didapatkan oleh Australia, Kanada, Jerman, Jepang, dan Amerika.
Argentina, Perancis, Italia, Meksiko dan Korea Selatan masuk kategori C. Sementara, nilai E didapatkan oleh Brazil, Tiongkok, dan Arab Saudi.
"Pemerintah harus berperan sebagai agen perubahan untuk mengurangi risiko korupsi di bidang militer. Bila tidak ada niat politik dari pemerintah maka akan sulit untuk meningkatkan posisi Indonesia lagi," kata peneliti Transparency International yang berbasis di London, Tehmina Abbas, dalam bahasa Inggris, saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/1).
Dalam survei ini juga dikemukakan bahwa Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan dalam hal anggaran militer. Selama sepuluh tahun terakhir ini, tercatat kenaikan anggaran sebesar 189 persen.
Kenaikan itu lebih tinggi dibandingkan Filipina yang hanya mengalami kenaikan sebesar 165 persen dan Pakistan sebesar 107 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan Thailand yang sebesar 207 persen dan Kamboja sebesar 311 persen. Sementara, Tiongkok mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu 441 persen.
Penelitian ini juga mengemukakan bahwa ada dugaan perantara atau broker yang terlibat dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) mendapatkan jatah sekitar 30 hingga 40 persen dari total nilai pengadaan alutsista tersebut. Mereka juga dinilai turut mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Salah satu hal yang dipertanyakan pula dalam penelitian ini adalah insiden terbakarnya pesawat F-16 di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Kamis pagi, 16 April 2015 lalu.
"Kejadian itu membuat publik mempertanyakan keputusan pemerintah membeli 24 pesawat perang Amerika Serikat yang telah lapuk," demikian tertulis dalam laporan penelitian tersebut.
Menanggapi hal itu, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang berpendapat anggaran pengadaan alutsista harus lebih transparan. Selama ini, ia menilai belum ada transparansi akan pengadaan alutsista.
"Negara maju seperti Amerika Serikat sangat terbuka akan pengadaan alutsista mereka. Semuanya dipampangkan di situs mereka. Kami maunya juga saat Komisi I DPR susun anggaran, sudah terbuka mau beli alutsista apa saja," kata Saut.
Selain itu, Saut berpendapat peran pihak ketiga dalam pengadaan alutsista harus dihentikan. Ia menilai peran perantara tersebut sudah terlalu mengakar karena mereka juga dinilai punya koneksi politik yang kuat. Ia menilai pengadaam alutsista bukanlah termasuk rahasia negara sehingga perlu diketahui publik.
"Indeks korupsi di bidang militer negara kita akan semakin baik jika proses pengadaan alutsista tidak dikendalikan oleh kepentingan broker senjata," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Imparsial Al Araf menilai perlunya revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal itu dinilainya perlu agar prajurit TNI bisa tunduk pada rezim pengadilan sipil.
"Nantinya, tentara yang melakukan tindak pidana korupsi harus diadili di pengadilan tipikor, bukan pengadilan militer. Kalau UU ini direvisi, nanti KPK juga bisa lebih leluasa mengusut kasus korupsi yang melibatkan TNI," katanya.
Penelitian ini dipublikasikan pada November lalu. Penelitian ini dilakukan oleh ahli yang mengkaji risiko korupsi di bidang militer dengan 77 pertanyaan. Hasilnya kemudian dikaji ulang lagi sebanyak tiga kali, yaitu kajian dari sesama peneliti, kajian dari pemerintah, dan kajian dari pihak Transparency International.
Ada berbagai faktor risiko yang dikaji, di antaranya risiko bersifat politik, keuangan, personel, operasi, dan pengadaan.
Adapun, pada 2016 pagu anggaran rutin Kementerian Pertahanan sebesar Rp95 triliun serta Rp150 triliun untuk persenjataan.
(bag)