Imparsial Kritik Penggunaan Broker pada Pembelian Alutsista

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Jumat, 22 Jan 2016 06:49 WIB
Jasa perantara membuat pengeluaran pemerintah membengkak karena harus memberikan komisi. Pengadaan pun jadi tak transparan dan berpotensi dikorup.
Imparsial meminta penggunaan jasa broker dalam pengadaan alutsista dihapus demi efisiensi anggaran dan transparansi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Imparsial Al Araf mengatakan Indonesia masih mengalami masalah serius dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pengadaan tersebut diyakini masih menggunakan jasa perantara, dan pengerjaannya tak transparan.

Penggunaan jasa perantara, kata Araf, membuat pengeluaran pemerintah membengkak karena harus memberikan komisi. Perantara ini sering pula memengaruhi kebijakan pemerintah karena punya koneksi politik kuat dengan pihak tertentu.

"Seharusnya anggaran dan pengadaan alutsista transparan. Harus jelas proses pembeliannya. Ini bukan hal yang harus dirahasiakan seperti strategi pertahanan," kata Araf di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyaknya dana yang terbuang untuk menyewa jasa perantara dinilai Imparsial membuat kualitas alutsista di Indonesia bobrok. Ia mencontohkan banyaknya kasus kecelakaan karena alutsista yang telah usang.

"Pengadaan alutsista yang tidak transparan berdampak pada keselamatan para prajurit. Kalau uang alutsista dikorup, maka bisa mengancam keselamatan mereka karena jeleknya kualitas alutsista yang dibeli," kata Araf.

Araf kemudian mencontohkan pembelian Sukhoi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu SBY dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah teken kontrak pembelian Sukhoi secara langsung.

"Namun kemudian pada praktiknya menggunakan jasa perantara. Padahal mereka punya kantor resmi di Jakarta. Begitulah, kadang perantara begitu cepat bermain di depan," kata Araf.
Imparsial juga mengkritik keputusan pemerintah yang kerap membeli alutsista dari negara yang tidak menjalankan pemerintahan secara transparan. Seharusnya, kata Araf, pemerintah Indonesia memilih rekan yang punya reputasi baik.

"Saya menyarankan pemerintah tidak lagi beli alutsista bekas karena 90 persen penuh permainan dan tidak transparan. Pemerintah harus beli alutsista baru," ujar dia.

Senada dengan Araf, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang juga berpendapat anggaran pengadaan alutsista harus lebih transparan. Selama ini, ia menilai belum ada transparansi pengadaan alutsista.

"Negara maju seperti Amerika Serikat sangat terbuka dalam pengadaan alutsista mereka. Semuanya dipampangkan di situs mereka. Kami maunya juga saat Komisi I DPR susun anggaran, sudah terbuka mau beli alutsista apa saja," kata Saut.

Ia kemudian mengeluhkan kurangnya karyawan di KPK sehingga tidak bisa menyelidiki semua kasus. Saat ini, kata Saut, hanya ada 1.500 pegawai KPK.

"Saya harapkan per 2019 pegawai KPK sudah 4.000 orang. Kalau sekarang, urus Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) saja sudah pusing," katanya.

Adapun, hasil survei Transparency International bertajuk Government Defence Anti-Corruption Index 2015 menunjukkan risiko korupsi di tubuh militer Indonesia tergolong tinggi.
Ada enam kategori nilai dalam indeks ini, yakni A (sangat rendah), B (rendah), C (sedang), D (tinggi), E (sangat tinggi), dan F (kritis).

Dalam indeks ini, Indonesia mendapatkan nilai D. Nilai tersebut sudah mengalami kenaikan dari tahun 2013 di mana Indonesia menyandang nilai E.

Penelitian ini juga menunjukkan ada dugaan penggunaan perantara atau broker dalam pengadaan alutsista yang mendapatkan jatah sekitar 30-40 persen dari total nilai pengadaan alutsista tersebut. Para broker ini juga dinilai turut mempengaruhi kebijakan pemerintah. (bag/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER