Jakarta, CNN Indonesia -- Panglima TNI Jenderal Moeldoko akan memasuki masa pensiun Juni depan. Jelang suksesi kepemimpinan di tubuh militer, Imparsial mengajukan beberapa kriteria seleksi kepada Presiden Joko Widodo.
Lembaga masyarakat sipil yang memonitor geliat pemenuhan hak asasi manusia ini menyatakan, salah satu syarat penting yang harus dimiliki calon panglima TNI. Syarat utama itu adalah komitmen membuka diri terhadap penyelidikan dugaan penyelewengan anggaran negara oleh lembaga eksternal.
Peneliti Imparsial Al Araf, mengatakan selama ini TNI cenderung tertutup dan tak transparan dalam penggunaan anggaran, terutama yang berkaitan dengan belanja alat utama sistem pertahanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Calon panglima harus berani membuka diri terhadap pihak eksternal. Itu hanya dapat terwujud kalau dia tidak resisten terhadap revisi Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer," kata Al Araf di Jakarta, Kamis (28/5).
Menurutnya, pemilihan panglima TNI saat ini seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan dengan cita-cita mewujudkan lembaga militer yang profesional. Oleh karenanya, Imparsial turut mendorong Jokowi untuk tidak hanya fokus pada suksesi kepemimpinan tapi juga pembenahan TNI secara utuh.
Dalam kesempatan yang sama Direktur Imparsial Poengky Indarti menuturkan, pembenahan tersebut tak dapat dipisahkan dari rencana pembaruan beleid tentang angkatan bersenjata. Meskipun Undang-undang Peradilan Militer tidak masuk dalam program legislasi nasional, ia mendesak Jokowi untuk aktif mendorong revisi undang-undang tersebut.
"Selama undang-undang itu belum direvisi, maka tentara belum bisa diadili di pengadilan tipikor. Selama ini kami tidak melihat adanya indikasi pemerintah dan TNI sendiri untuk membongkar korupsi maupun mafia di tubuh militer," katanya. (Baca juga:
Perwira Tinggi TNI Diprioritaskan Jaga Keamanan KPK)
Reformasi peradilan militer merupakan mandat Ketetapan MPR Nomor VII/2000. Imparsial menyatakan, tak hanya soal patgulipat anggaran, peradilan militer selama ini sering menjadi sarana impunitas bagi oknum militer yang melakukan tindak pidana.
"Kalaupun ada hukuman, sanksi yang diberikan seringkali tidak maksimal dan tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya," kata Poengky.
Selain komitmen membuka TNI, Poengky menuturkan, calon orang nomor satu di institusi militer ini harus menjauhkan lembaganya dari tugas-tugas nonmiliter. Ia juga mendesak Jokowi mengevaluasi nota kesepahaman antara TNI dan beberapa lembaga negara. (Baca juga:
Komisi Hukum DPR Keberatan TNI Gabung KPK)
Ia berkata, ke depan Jokowi dan calon Panglima TNI terpilih juga harus sepakat, TNI tidak boleh masuk ke jajaran pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Kami khawatir, masuknya aparat TNI ke KPK selain akan mengaburkan fokus menjalankan tugas pertahanan, tapi juga akan menghambat pembersihan TNI dari oknum. Seharusnya equality before the law. Kalau ada jenderal atau perwira menengah korupsi, mereka harus diadili," kata Poengky.
(sur)