LIPUTAN KHUSUS

Dua Tahun Hidup di Atas Eretan Kanal Banjir Timur

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Selasa, 09 Feb 2016 19:31 WIB
Bertahan hidup di Jakarta bukan hanya soal mencari pekerjaan, namun bagi Pardi dan Mulyati tinggal di atas perahu eretan adalah satu-satunya cara.
Pardi (52 tahun) bersama istrinya Mulyati (54 tahun) selama dua tahun terakhir hidup dan mencari nafkah di atas eretan di Banjir Kanal Timur, Jakarta, 19 Januari 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Kalau malam ada yang gerak-gerak di bawah. Kalau kayu mending, tapi kalau ular atau buaya, ya kami takut juga," ujar Pardi(52) menceritakan rasa yang harus dia tepissetiap malam selama dua tahun hidup di atas perahu tambangan di Kanal Banjir Timur.

Bersama istrinya, Mulyati (54), pria paruh baya asal Madura itu mengaku telah menjalani hidup di atas air selama 24 jam dalamhampir tiga tahun belakangan. Pardi agaknya menjadi salah satu warga pendatang yang mencoba bertahan hidup sekuat tenaga di Ibu Kota.

Tiga tahun sudah Pardi hijrah dari Bali ke Jakarta. Pasangan paruh baya ini meninggalkan usaha sebagai pedagang baju dan sopir ojek di Pulau Dewata setelah diiming-imingi saudaranya bakal mendapat pekerjaan yang lebih baik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagai cerita klasik para pendatang, keduanya pun tak berhasil menggapai mimpi yang diharapkan setelah menjejakkan kaki di Jakarta. Seorang saudara yang menawarkan mereka pekerjaan di Ibu Kota ternyata mangkir dari janji.

Kehidupan di atas kanal banjir Pardi dan Mulyati bermula setelah mereka tak lagi mampu membayar sewa kamar kos yang mereka tempati di kawasan Bintara, Bekasi.

Usaha dagang pakaian dan ojek di kawasan Kemayoran yang mereka coba ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan hidup. Hingga akhirnya, si pemilik kos mengusir keduanya dari rumah kos.

Kala itu, motor yang menjadi modal pencari rezeki Pardi terpaksa digadai untuk melunasi utang sewa kos. Dalam kondisi seperti itu, seorang tetangga kos berbaik hati menawarkan mereka bekerja sebagai penarik perahu di Kanal Banjir Timur.

Pardi dan Mulyati pun diizinkan untuk menjadikan perahu sebagai rumah tinggal. Dua tahun berlalu, hingga kini keduanya nyaris menghabiskan waktu 24 jam sehari di atas air.

Memang, Pardi dan Mulyati belum pernah mengalami kejadian buruk hingga saat ini. Meski tak dipungkiri rasa takut seringkali menghampiri.

"Suka terasa bunyi kalau tengah malam itu. Kalau musim hujan suka terasa ada barang yang lewat di kolong,” kata Pardi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (19/1).

Tinggal di atas perahu tambangan atau yang sering disebut eretan, diakui Pardi, masih kerap didatangi rasa cemas setiap malam. Dia mengaku tidak siap jika ada buaya atau ular yang datang dengan tiba-tiba dan mengancam keselamatan dia dan sang istri.

“Mitos soal buaya di sini sebenarnya sudah ada sejak saya mulai narik perahu,” kata Pardi.

Meski dihinggapi rasa waspada nyaris tiap malam, namun Pardi dan Mulyati menyadari tak ada tempat lain untuk mereka tinggal sekaligus mencari uang.

Diutangi Penumpang dan Dibayar dengan Kerupuk

Mencari rezeki di pinggir kota Jakarta dengan mengeret perahu menyebrangi wilayah Rawa Kuning dan Rawa Bebek, di kawasan Pulo Gebang, Jakarta Timur, memang belum bisa mencukupi kebutuhan hidup Pardi dan Mulyati.

Pemasukan dari tarif Rp1.000 untuk penumpang anak sekolah dan Rp2.000 untuk penumpang dewasa yang didapat per hari tidak melulu mencukupi kebutuhan makan mereka berdua. Dalam satu hari, paling banyak mereka mendapat upah Rp20 ribu dari si pemilik perahu.

Angka itu masih belum pasti mereka kantongi setiap hari. Alasannya, mereka kerap iba dengan anak-anak sekolah yang tak punya uang untuk menyebrang.

Banyak anak-anak yang menyebrang membuat keduanya tidak dapat menghafal siapa saja yang berutang ongkos kepada mereka. “Kami sambil narik bingung, tidak ingat. Tapi tidak apa-apa, sudah biarkan, yang penting masih ada yang bayar,” kata Pardi.

Tak hanya anak sekolah, beberapa kali Mulyati juga harus pasrah ketika ada pemulung yang menumpang menyebrang dengan perahunya. Sering kali mereka mendapat bayaran setengah dari tarif yang mereka buat itu.

“Pernah juga pedagang kerupuk numpang, enggak punya uang karena belum laku. Dibayar pakai kerupuk. Ya, saya bilang ke orangnya (pemilik perahu) nanti,” ujarnya.

Mulyati menjelaskan, setiap hari dia berbekal uang Rp5ribu untuk bisa makan siang. Kalaupun ada lebih dari pemasukan kemarin, Mulyati biasanya belanja sayur dan memasak di atas perahu.

Namun saat musim kemarau dan libur panjang sekolah, Mulyati dan Pardi sering bingung karena tidak ada yang menyeberang. Terpaksa, mereka akhirnya menghemat makan.

"Aduh tidak ada orang numpang, dapat Rp15ribu sampai Rp20ribu, Rp8ribu, sudah alhamdulillah," kata Mulyati.

"Ini kan perahunya anak sekolah. Kalau anak sekolah libur, kami libur juga. Makan harus dihemat juga. Ikat kencang-kencang perutnya."

(meg/rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER