Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Muhammad Syarif menilai proses pembahasan pengusulan revisi Undang-Undang KPK cacat prosedur. Alasannya, tak ada naskah akademik yang dibahas melalui diskusi antara pihak terkait.
"Setiap revisi harus ada naskah akademik yang didiskusikan di DPR oleh
stakeholder dan ini tidak dilalui. Setiap revisi juga harus didiskusikan dengan lembaga itu sendiri. KPK tidak dilibatkan," kata La Ode saat diskusi "Tolak Revisi UU KPK" di Jakarta, Kamis (18/2).
La Ode mengatakan, absennya lembaga antirasuah dalam diskusi juga menjadi pertimbangan penolakan. Beleid tersebut juga dinilai melemahkan wewenang pemberantasan korupsi oleh KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu susah juga nantinya karena proses itu kami tidak terlibat maka kami tolak. Draft revisi UU KPK setelah kami lihat semua norma dan pasal yang dikirim, tak ada satu pun yang menguatkan," katanya.
La Ode menceritakan, sikap penolakan tegas ditunjukkan oleh pimpinan sekarang. Sebelumnya, telah ada kesepakatan antara pihak pemerintah dengan pimpinan sementara terdahulu untuk merevisi undang-undang ini.
Kesepakatan ini mencakup empat poin yakni aturan pengangkatan penyelidik dan penyidik independen, penyadapan melalui pengadilan, penbentukan Dewan Pengawas etika, dan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Saat induksi pertama masuk KPK, kalau pimpinan yang baru menganggap tidak sepaham dengan agreement sebelumnya maka komisioner bisa saja tidak mendukung. Setelah kami lihat itu tak ada yang menguatkan, kami tidak menyepakati itu dengan beberapa alasan," ucapnya.
Sikap penolakan yang tegas pun ditunjukkan dengan pengiriman surat penolakan yang diteken lima pimpinan kepada anggota DPR.
KPK menilai penyadapan tak perlu melalui izin dewan pengawas. Alasannya, selama ini telah sesuai prosedur dengan izin pimpinan. KPK pun telah diberi wewenang khusus.
"Pasal 50 Konvesi PBB Antikorupsi disebutkan bisa diperbolehlan
control delivery dengan menjebak orang dan penyadapan serta pemantauan," katanya.
Lebih jauh, La Ode juga mengingatkan DPR untuk tak melanjutkan proses pembahasan ini lantaran penolakan telah muncul dari rakyat melalui sejumlah gerakan termasuk Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi, dan sebagainya. "Kalau rakyat jadi konstituen menolak mengapa parlemen representasi rakyat ingin melemahkan? Ada diskoneksi yang tinggi antara parlemen dan rakyat," ujarnya.
Pekan depan, sidang paripurna akan membahas revisi UU KPK. Sejauh ini tujuh fraksi dari 10 fraksi di DPR mendukung revisi. Mereka adalah PDIP, Golkar, Hanura, PKB, PPP, PAN, dan NasDem. Sementara tiga fraksi lain ikut menolak yakni Demokrat, PKS, dan Gerindra.
(bag)