Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaha Purnama mengatakan belum mendapatkan laporan resmi soal penggerebekan sejumlah klinik yang diduga menjalankan praktik aborsi ilegal. Informasi yang dia dapat untuk sementara adalah rumah tersebut izinnya bukan untuk klinik melainkan tempat pengacara.
"Tadi saya baca izinnya tak sesuai ya, izinnya itu kantor pengacara," kata Basuki saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (24/2).
Terkait dengan klinik-klinik yang izinya bodong atau tetap beroperasi padahal izinya sudah kedaluwarsa, Basuki langsung memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk jemput bola dan melakukan penindakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ahok, sapaan Basuki, Satpol PP di Jakarta jangan hanya mengejar tempat-tempat hiburan melainkan juga tempat kesehatan seperti klinik.
"Satpol PP jangan hanya urus tempat hiburan saja, mereka itu memang polisinya Pemerintah Daerah," kata Ahok.
Sebelumnya sembilan orang berhasil diamankan penyidik Subdit Sumdaling karena diduga bertanggung jawab atas praktik aborsi ilegal tersebut. Sembilan orang tersebut memiliki tugas masing-masing mulai dari calo hingga berperan sebagai dokter.
Untuk dokter sendiri, Kepala Subdit Sumdaling Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Adi Vivid menyebutkan bahwa ada dua yang teridentifikasi berperan sebagai dokter, yaitu N dan MN alias A. Kedua dokter tersebut diindikasi merupakan dokter gadungan karena hasil pemeriksaan awal menunjukkan keduanya hanya lulusan sekolah menengah pertama.
Atas perbuatannya, para pelaku disangka melanggar sejumlah Undang-Undang, mulai dari Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 73, 77, 78 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Pasal 64 jo Pasal 83 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Untuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) para pelaku dianggap melanggar Pasal 55, Pasal 56, Pasal 229, Pasal 346, Pasal 348, dan Pasal 349. Dari keseluruhan UU yang dilanggar, ancaman maksimal bagi para pelaku adalah kurungan penjara 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
(obs)