Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas tiga lembaga swadaya masyarakat menilai banyak kejanggalan pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Juru Bicara Koalisi yang juga peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia, Jamil Mubarok, Rabu (2/3), menjelaskan ada beberapa poin kejanggalan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap Sumber Waras.
Poin yang pertama, kata dia, adalah diabaikannya data hasil kajian teknis Tim Dinas Kesehatan sehingga BPK mengambil kesimpulan yang memaksa. Dalam laporannya, BPK menyebut pembelian lahan menyimpang lantaran tidak ada dokumen perencanaan pengadaan tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam LHP (laporan hasil pemeriksaan), saya membaca ada laporan soal kajian teknis Dinas Kesehatan. Di sini artinya BPK tidak cermat," kata Jamil saat berdiskusi di kawasan Jakarta Pusat.
Selain itu, BPK juga tidak menggunakan dasar Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 yang dikeluarkan pada 24 April. Padahal BPK melakukan audit pada 2015, setelah Perpres itu terbit.
Pasal 121 Perpres tersebut berbunyi "dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari lima hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual-beli atau tukar-menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak."
Laporan BPK justru menggunakan pasal 5, 6 dan 7 Perpres 71 tahun 2012. Perpres tersebut, pada saat audit, telah digantikan oleh Perpres 40 Tahun 2014.
"Artinya pengadaan tanah Sumber Waras yang luasanya 36.410 meter persegi, masih di bawah lima hektar, dapat dilakukan langsung Pemerintah dengan pemilik tanah melalui panitia pembebasan lahan. Sementara BPK bilang tidak boleh langsung," kata Jamil.
Selanjutnya, BPK juga tidak mengacu pada data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2013 dan malah menggunakan NJOP 2014. Padahal, kata Jamil, sudah jelas NJOP dari tahun ke tahun pasti mengalami peningkatan.
Nilai kerugian Rp191 miliar, kata Jamil, adalah selisih kenaikan harga antara NJOP 2013 dan 2014. "Kalau BPK objektif mestinya menggunakan NJOP 2013," ujarnya.
Selain itu, BPK juga dinilai terkesan sepihak dan mengabaikan data dari Pemerintah bahwa lokasi tanah sesuai sertifikat berada di Jalan Kyai Tapa dan pembayaran nilai tanah telah sesuai dengan NJOP 2014 pada Zona Wilayah Tanah di jalan tersebut.
BPK juga dinilai tidak mengacu kepada tanggal pembatalan perjanjian Yayasan Kesehatan Sumber Waras dengan Ciputra Karya Utama dan tanggal pelepasan hak Yayasan kepada Pemerintah.
Sementara itu, juru bicara lainnya yang juga peneliti Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menyebut sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindaklanjuti laporan BPK ini menjadi bukti.
"Buktinya KPK menyatakan kasus ini belum bisa naik ke penyidikan karena belum ada bukti. Kalau laporannya solid, semestinya tidak sulit untuk KKPK menaikkan ke tingkat penyidikan," kata dia.
Ray membandingkannya dengan tindak lanjut KPK dalam menindaklanjuti laporan terkait Bank Century. KPK, kata dia, menyikapi laporan tersebut dengan menindaklanjuti dengan terus menerus, tidak seperti dalam kasus Sumber Waras.
"Jadi ada dua laporan BPK yang seolah diperlakukan berbeda," ujarnya.
Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara terpisah menyatakan dari awal dirinya yakin pembelian lahan Sumber Waras tidak pernah dibumbui oleh aktivitas korupsi.
Ahok menegaskan dirinya tidak pernah ada niat untuk mencuri uang negara. Bahkan, kata Ahok, terpikir sedikit pun tak pernah muncul di benaknya.
Terkait dengan kinerja KPK selama mengusut kasus Sumber Waras, Ahok mengatakan bahwa dia memiliki keyakinan lembaga antirasuah akan bekerja secara profesional.
Menurut Ahok, dirinya tetap siap jika memang KPK meneruskan proses hukum di kasus Sumber Waras tersebut. Dia pun mengaku santai dalam menghadapi kasus itu.
Kasus Sumber Waras menyeret nama Ahok setelah dirinya dilaporkan ke KPK atas kasus jual beli tanah rumah sakit itu. Dari laporan hasil audit BPK terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2014, penentuan harga beli tanah oleh pemerintah daerah tak melalui mekanisme penilaian yang wajar.
BPK menilai pembelian lahan untuk pembangunan rumah sakit pemerintah seluas 3,7 hektare itu dapat merugikan pemerintah daerah sebanyak Rp191 miliar. BPK menemukan perbedaan harga NJOP pada lahan di sekitar RS Sumber Waras yakni di Jalan Tomang Utara dengan lahan rumah sakit itu sendiri di Jalan Kyai Tapa.
Dalam laporannya, BPK meminta Ahok untuk membatalkan pembelian. Ahok juga direkomendasikan meminta pertanggungjawaban Yayasan Kesehatan Sumber Waras agar menyerahkan lokasi fisik tanah di Jalan Kyai Tapa.
Lokasi itu sesuai yang ditawarkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan bukan lokasi di Jalan Tomang Utara. Selain itu, BPK juga merekomendasikan Ahok menagih tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan YKSW selama 10 tahun sejak 1994 hingga 2014 senilai lebih dari Rp3 miliar.
Tak mengindahkan rekomendasi tersebut, Ahok justru ngotot membeli lahan pembangunan Sumber Waras.
(bag)