Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Asrul Sani memberikan catatan dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Asrul mengkritisi pasal 43 huruf b draf revisi tundang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa perluasan kewenangan menyelidiki kasus terorisme meliputi penempatan orang tertentu di tempat tertentu selama 6 bulan. Dia menyebutnya sebagai Pasal Guantanamo karena kewenangan ini mengingatkan pada pusat penahanan di Guantanamo Bay, Kuba.
"Orang tertentu dan di tempat tertentu ini apa bentuknya? Siapa yang ditempatkan? Kalau ada perbedaan makna, bisa saja penegak hukum. Makanya saya bilang pasal Guantanamo," kata Asrul Sani di di Jakarta, Selasa (8/3).
Asrul mengkritisi agar ada penjelasan yang lebih detail agar aturan ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia. “Kalau penafsiran diserahkan ke penegak hukum, jadi repot. Tempat tertentu juga harus dirumuskan konsepnya. Kalau konsepnya di-Pulau Buru-kan lagi keberatan enggak?" kata Asrul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pulau Buru adalah tempat tahanan khusus yang disediakan Orde Baru bagi tahanan politik yang diduga terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia.
Selain soal tahanan, Asrus juga menyoroti enam poin lain. Poin pertama adalah terdapat penalisasi atau suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana, dianggap sebagai perbuatan pidana dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme.
“Beberapa bentuk penalisasi itu di antaranya setiap orang yang menyimpan bahan peledak, atau mengikuti pelatihan dalam bentuk paramiliter, dapat dikenakan sanksi pidana,” kata Asrul.
Poin kedua menurut Asrul yaitu pemberatan sanksi khususnya terkait pasal 15 mengenai percobaan permufakatan jahat dan membantu tindak pidana terorisme. Poin ketiga mengenai perluasan sanksi yang tidak hanya subjek sebagai perorangan, tetapi melingkupi badan hukum.
Poin keempat yang disoroti Asrul yaitu mengenai introduksi pidana tambahan terkait pencabutan kewarganegaraan dan paspor bagi mereka yang terlibat tindak pidana terorisme di luar negeri.
Kelima, adanya penambahan kewenangan oleh instansi terkait, di luar proses peradilan, bagi warga negara yang mengikuti perang atau pelatihan militer di luar negeri.
Poin keenam, adalah aturan khusus dalam waktu penyelidikan dan penuntutan. Misalnya waktu penangkapan menjadi 30 hari, sementara penuntut memiliki kewenangan 90 hari.
(yul)