Perludem Sarankan Pilkada Serentak Nasional dan Daerah

Puput Tripeni Juniman | CNN Indonesia
Selasa, 15 Mar 2016 13:09 WIB
Perludem menilai Pilkada yang tidak disertai dengan pemilihan legislatif akan menimbulkan banyak persoalan, terutama pengambilan kebijakan.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini melihat jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia belum mencapai tujuan dari pemilihan umum itu sendiri. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini melihat jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia belum mencapai tujuan dari pemilihan umum itu sendiri.

"Ketetapan Pilkada serentak berada pada jalur yang benar dan lebih tertata. Namun, belum mencapai tujuan pemilu. Serentak nasional dan serentak daerah akan lebih menguatkan demokrasi," kata Titi dalam seminar nasional Anti-Corruption & Democracy Outlook 2016, Bersama Lawan Korupsi, Selasa (15/3).

Penerapannya saat ini, Pemilu legislatif berlangsung pada tahun 2014 untuk seluruh wilayah di Indonesia. Sementara, pilkada serentak berlangsung dalam beberapa gelombang, yakni, 2015, 2017, dan 2018.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perludem menilai pemilihan kepala daerah yang tidak disertai dengan pemilihan legislatif justru akan menimbulkan banyak persoalan, terutama dalam pengambilan kebijakan.

"Karena kecenderungan yang terjadi, kepala daerah tidak didukung oleh legislatif. Ada kepala daerah yang hanya didukung oleh 30% parlemen," ungkap Titi.

Seperti di Provinsi Jambi, Titi mencontohkan, dalam parlemen terdapat 9 partai dominan yang akan menghambat pengambilan keputusan dari eksekutif. Ini akan memicu terjadinya lobi politik, politik transaksional, dan visi misi yang tidak terealisasi.

Jika pilkada serentak nasional dan serentak daerah terjadi, besar kemungkinan eksekutif akan didukung oleh legislatif. "Karena masyarakat akan memilih partai yang mengusung kepala daerah yang didukungnya," kata Titi.

Selain itu, Perludem juga menyoroti persoalan yang terjadi dalam Pilkada serentak, seperti problem penyelenggaran, dualisme kepengurusan partai, membayar pemilih, dan menyuap aparat negara. Pada tahun 2015, terjadi 900 kasus politik uang dan hanya tiga yang diproses pidana,
serta terdapat beberapa aturan yang tidak mendukung penegakan Hak Asasi Manusia dan penegakan anti korupsi.

"Tahun lalu, terdapat lebih dari 20 narapidana korupsi yang menjadi calon kepala daerah dan sebagian besar terpilih kembali," ungkap Titi. (bag)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER