Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta Djan Faridz menegaskan akan melayangkan laporan resmi kepada Presiden Joko Widodo agar tak menghadiri muktamar islah partai Kakbah pada 8 hingga 11 April 2016 mendatang.
"Saya akan buat laporan resmi pada Presiden, Sekretaris Kabinet, dan Menteri Sekretaris Negara untuk mengkaji ulang, jangan sampai beliau (Jokowi) hadir," kata Djan saat jumpa pers di Kantor PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (4/3).
Djan berharap Jokowi mendengarkan ucapannya dan bertindak sesuai dengan hukum. Dia percaya orang nomor wahid di Indonesia itu tak akan gegabah dengan menghadiri muktamar islah yang akan digelar di Pondok Gede, Jakarta Timur, itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pak Jokowi taat hukum dan sepak terjang dua tahun terlihat sangat mengerti hukum, saya tidak perlu meminta apalagi melarang," katanya.
Menurut Djan, muktamar islah yang digagas oleh pengurus hasil Muktamar Bandung tahun 2011 ini dinilai ilegal. Djan mengklaim muktamar tak perlu dilakukan lantaran keputusan Mahkamah Agung (MA) atas pertikaian kubunya dengan kubu Romahurmuziy (Romi) dari Muktamar Surabaya jelas mengesahkan pihaknya, pengurus hasil Muktamar Jakarta. Dengan dalih telah ada keputusan MA, Djan mengaku hanya mau islah atau berdamai melalui mufakat saja alih-alih menggelar muktamar untuk pemilihan pengurus partai baru.
"Pertemuan yang melawan hukum sifatnya haram. Seperti saya diundang kenduri oleh teman saya yang nasi kebuli babi, haram hukumnya buat saya," kata Djan.
Selain itu, Djan menilai tak ada alasan mendesak untuk menggelar muktamar yang dikaitkan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam Peraturan KPU Nomor 2 menjelaskan jika ada partai berkonflik maka harus diselesaikan terlebih dulu jika ingin mengusung calonnya dalam Pilkada.
"KPU (Komisi Pemilihan Umum) menerima peserta Pilkada berdasarkan putusan MA yang sifatnya inkracht. Insya Allah tidak ada permasalahan soal Pilkada," katanya.
Senada dengan Djan, Ketua DPP PPP versi Muktamar Jakarta Triana Djemat menjelaskan sejumlah dasar poin penolakan pihaknya terhadap muktamar islah. "Dalam amar putusan MA menyatakan antara lain kepengurusan yang sah adalah Jakarta. Dari Mukernas pada 29-30 Maret 2016, seluruh DPW (Dewan Pengurus Wilayah) sepakat menolak muktamar islah 8 April 2016," ujar Triana.
Sebagai negara hukum berdasar ayat 3 UUD 1945, Triana menegaskan pengurus PPP kubu Djan konsisten menolak pelanggaran hukum yang dinilai telah dilakukan kubu Romi. "Kami ingin islah berdasar hukum yang tidak melanggar hukum," katanya.
Kisruh bermula saat Romi menggelar muktamar di Surabaya dan dirinya terpilih menjadi ketua umum pada akhir 2014 lalu. Tak terima, kubu Djan melakukan hal serupa di Jakarta yang berujung terpilihnya Djan sebagai ketua umum. Di saat itu, Romi mengantungi Surat Keputusan Menkumham pada 2014 yang mengesahkan kepengurusannya sementara Djan tidak.
Djan menggugat SK tersebut hingga MA memutuskan muktamar Jakarta telah sah secara hukum. Namun dalam putusan, MA tak menyebutkan kepengurusan Djan diakui secara hukum.
Berdasar putusan tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membatalkan SK kubu Romi dan menghidupkan kembali SK Muktamar Bandung 2011 yang dipimpin Suryadharma Ali. Yasonna meminta kedua pihak berdamai dan menggelar muktamar islah.
Mewakili Suryadharma Ali, Lukman Hakim Saifuddin ikut ambil andil mendorong kedua pihak untuk bersatu. Romi yang juga Sekjen PPP versi Muktamar Bandung pun juga mengundang pejabat negara seperti Jokowi untuk menghadiri muktamar islah. Mereka bertemu Jokowi dan mengutarakan penyelenggaraan muktamar islah.
"Kami mengundang Bapak Presiden untuk menghadiri dan membuka serta memberikan amanat kepada Muktamar ke-8 akan datang, insya Allah, Presiden sudah menyatakan kesanggupannya untuk hadir dan tentu kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada Presiden," kata Romi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat lalu.
(obs)