Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja alias Ahok menganalogikan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi seperti seorang preman minta jatah uang. Tersangka perkara suap rencangan peraturan daerah reklamasi itu dinilai Ahok meminta uang kepada pengusaha.
"Bisa juga Sanusi memang orang yang demen (suka) beli mobil dan beli apa saja, main panggil saja pengusaha. Pengusaha juga diminta Rp1 miliar itu kayak dimintai preman Rp100 ribu terus dikasih saja," kata Ahok di Kantor Wali Kota DKI Jakarta, Selasa (5/4).
Sanusi disangka lembaga antirasuah menerima fulus pelicin dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait dua raperda reklamasi.
Raperda pertama tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Provinsi Jakarta tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai di Jakarta Utara.
Dalam Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis, terdapat kewajiban pengembang untuk membayar uang kompensasi pada pemerintah setempat sebanyak 15 persen x luas wilayah x Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perda yang lama, kan lebih enak (karena tidak ada kewajiban membayar 15 persen tetapi hanya 5 persen). Pengembang sebenarnya lebih demen kalau tidak ada Perda baru," kata Ahok.
Ahok menduga, pengembang tak menginginkan raperda tersebut diteken. Alhasil, muncul tawar-menawar dengan pihak DPRD yang berwenang untuk meloloskan atau tidak meloloskan aturan ini.
Namun pendapat Ahok belum terbukti lantaran KPK tengah menyelidiki modus dugaan penyuapan oleh pihak pengembang pada anggota DPRD itu. Pemanggilan terus dilakukan pada tersangka dan sejumlah saksi.
Baik Sanusi dan Ariesman kini berstatus tersangka suap. Selain keduanya, karyawan PT APL Trinanda juga dijerat sebagai tersangka yang diduga menjadi perantara.
Sanusi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara Ariesman dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
(sur)