Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Asia Justice and Rights (AJAR) menyatakan penting bagi negara-negara Asia, khususnya Indonesia, untuk menangani tindakan kekerasan dan penyiksaan hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.
"Lemahnya akuntanbilitas, pengakuan secara resmi, dan ruang politik untuk membahas sejarah penyiksaan, bukan hanya masalah bagi para korban kejahatan masa lalu, tapi juga dapat menyebabkan impunitas,” kata Koordinator KontraS Haris Azhar dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (6/4).
Penguatan akuntabilitas penanganan kekerasan HAM masa lalu, ujar Haris, merupakan basis pembelajaran untuk reformasi kebijakan hukum masa kini dan masa mendatang dalam menangani pelanggaran HAM.
"Banyak penyiksaan masa lalu di Indonesia yang mayoritas terjadi pada masa Orde Baru, dan kita lihat tidak pernah ada keadilan bagi para korban," ujar Haris.
Diskusi terbatas mengenai penguatan akuntabilitas penanganan penyiksaan HAM ini diselenggarakan AJAR bersama KontraS, The National Peace Council (Sri Lanka), Associacaon Chega Ba Ita (Timor Leste), dan Wimmutti Volunteer Group (Myanmar). Mereka ini kembaga-lembaga nirlaba yang terfokus pada isu penyiksaan HAM.
Sri Lanka, Timor Leste, Myanmar, dan Indonesia merupakan negara-negara di Asia yang memiliki persoalan pelanggaran HAM sebagai dampak transfortasi politik di negara masing-masing.
Di Mynmar, menurut pakar politik dan hukum Myanmar Robert San Aung, dalam kurun waktu 1962 hingga 2013, dari 1.621 tahanan politik, 72 persen di antaranya mengalami penyiksaan psikis maupun fisik oleh pemerintah tanpa penanganan yang jelas.
Di Sri Lanka, penyiksaan terjadi ketika kelompok pemberontak Janatha Vimukthi Peramuna diburu oleh rezim bersenjata yang berkuasa pada 1971. Pada masa itu, penggunaan penyiksaan sebagai metode hukuman digunakan oleh rezim berkuasa untuk mengadili para kelompok pemberontak.
Minimnya perhatian pemerintah menjadikan lembaga-lembaga nirlaba ini bersama-sama mendorong pemerintah negara-negara di Asia, terutama Indonesia, Myanmar, Sri Langka, dan Timor Leste, untuk mereformasi hukum agar dapat mengkriminalisasi tindakan penyiksaan dalam hukum pidana.
KontraS bersama lembaga-lembaga tersebut, dengan dukungan Uni Eropa, bekerja sama untuk memperkuat hak dan kedudukan hukum para korban penyiksaan HAM dengan mempromosikan akuntanbilitas sesuai dengan konteks negara masing-masing.
"Penyiksaan adalah oportunitas kriminal yang harus kita buang jauh-jauh, dan hal ini merupakan salah satu prioritas Uni Eropa dalam upaya penegakan HAM di Asia," kata Charles-Michel Geurts, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(agk)