Jakarta, CNN Indonesia -- Rancangan Peraturan Daerah Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta masih terhenti lantaran DPRD DKI Jakarta dan pemerintah daerah setempat belum mencapai sepakat. Poin pembahasan alot yang menjadi tarik ulur yakni terkait kewajiban pengembang untuk membayar kontribusi tambahan.
Raperda ini telah diajukan pada 23 November 2015 berdasar Surat Gubernur Nomor 4131/-075.61. Saat itu pemerintah menyampaikan usulan raperda yang terdiri dari kewajiban pengembang, kontribusi, dan kontribusi tambahan.
"Kewajiban itu ada ruang terbuka hijau sebanyak 20 persen, sarana jalan, utilitas. Kami wajibkan juga di setiap pulau pantai publik minimal 10 persen dari keliling pantai. Kalau pulaunya 2 km, ya 10 persen dari itu jadi 200 meter harus dibuka untuk pantai publik. Kami juga dorong pasar laut, kuliner laut, kapal nelayan, bisa untuk wisata bahari," kata Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati di kantornya, Balai Kota DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pengembang wajib memberikan kontribusi sebanyak lima persen dari total lahan pulau reklamasi. Lima persen lahan tersebut akan digunakan untuk pembangunan rumah susun yang nantinya dihuni para pekerja kelas menengah hingga bawah.
Ada pula kewajiban pengembang untuk menyerahkan uang kas daerah sebanyak 15 persen dari total luas lahan yang bisa dijualbelikan dikali Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Namun usulan pemerintah itu tak disambut baik oleh DPRD DKI Jakarta yang mengutarakan pendapat mereka pada 25 November dan 30 November 2015.
Pada 4 Desember 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyampaikan jawaban atas penyampaian pendapat fraksi di DPRD. Selanjutnya pada 21 Desember 2015 hingga 16 Februari 2016, pembahasan pasal-pasal pun dimulai.
"Saya ikut yang pembahasan awal. Awalnya belum ada angka lima persen. DPRD menganggap kontribusi tambahan 15 persen itu memberatkan pengembang. Jadi mereka tidak sepakat dan minta konsolidasi dulu," kata Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang Oswar Muadzin.
Konsolidasi akhir pun dilakukan pada 26 dan 29 Februari 2016 yang diikuti Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi, anggota Sekretariat Dewan Bestari Barus, dan sejumlah pihak eksekutif. Konsolidasi digelar di lantai sembilan Gedung DPRD DKI Jakarta.
Belum juga rampung, konsolidasi naskah akhir raperda itu kembali dibahas di lokasi yang sama. M Taufik menyerahkan dua lembar usulan perubahan pasal terkait kontribusi tambahan.
"Pembahasan
deadlock, terutama yang terakhir. Bahkan ada perubahan pasal," kata Oswar.
Hal itu diamini Tuty yang juga ikut rapat. “Ada penjelasan pasal yang diusulkan DPRD dan kami (Pemprov) belum sepakat. Batang tubuh sudah dibahas namun kemudian ada usulan tambahan penjelasan terkait tambahan kontribusi ini. Kalau kami mengusulkan 15 persen x NJOP x luas lahan yang dapat dijual, mereka (DPRD) mengusulkan rumusan lain,” kata dia.
Tuty bercerita, M Taufik mengatakan kontribusi tambahan seharusnya dihilangkan dan diganti dengan konversi uang dari lahan kontribusi lima persen dari total luas wilayah. Namun Pemprov DKI Jakarta berkeras tak terima.
"Itu usulan Pemprov tentang kontribusi tambahan 15 persen ada di Pasal 116 tapi setelah dibahas jadi Pasal 111. Kemudian kontribusi tambahan di Pasal 111 dicoret, tapi dikasih pasal tambahan di bawahnya nanti biar diatur di Peraturan Gubernur," kata Tuty.
Baik Tuty maupun Oswar menjelaskan, DPRD ngotot menurunkan kontribusi tambahan dari pengembang lantaran dinilai memberatkan pengembang. Namun Pemerintah DKI Jakarta punya maksud lain di balik pemungutan uang tersebut.
"Ini untuk subsidi silang pembangunan di pantai dan kawasan pantai utara Jakarta. Di sana banyak bangunan kumuh dan jaraknya hanya 300 meter dari pulau yang direklamasi. Bisa dibayangkan bagaimana nanti mereka yang tinggal di tempat kumuh melihat apartemen mewah di pulau?" kata Oswar.
Tuty membenarkan pemerintah perlu merevitalisasi kawasan kumuh tersebut. Terlebih, Ahok ingin menyulap kawasan di 17 pulau reklamasi yang tak jauh dengan daratan Jakarta itu menjadi Port of Jakarta laiknya pelabuhan di Rotterdam, Belanda.
Namun jika raperda itu macet dan tak kunjung dibahas, pengembangan pulau reklamasi terancam macet. "Kalau Raperda stuck tidak keluar, pengembang hanya bisa sampai pulau terbangun dan ada daratan, tapi tidak bisa membangun (infrastruktur)," kata Oswar.
"IMB (izin mendirikan bangunan) itu tergantung Perda. Bagaimana bisa membangun (infrastruktur) kalau rencana tata ruang tidak ada? Kita tidak tahu di mana lokasinya," ujar Oswar.
Jika pengembang ngotot membangun sejumlah gedung dan infrastruktur lain, kata Oswar, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berhak untuk membongkar atau mengenakan sanksi berupa denda.
Ahok punya siasat lain. Beragam cara menjadi alternatifnya, seperti akan menerbitkan Peraturan Gubernur tentang kontribusi tambahan. Pergub ini nantinya akan melengkapi Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang reklamasi pantai utara Jakarta yang selama ini menjadi dasar hukumnya.
"Iya, reklamasi jadi menggantung saja. Tidak bisa bangun, saya tidak mau kasih. Kalau DPRD ngotot semua, nih tunggu sampai 2019 ganti DPRD," kata Ahok.
Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta, hingga saat ini sejumlah pulau tengah melangsungkan proses reklamasi. Artinya, pulau-pulau itu sudah mulai menguruk laut untuk menjadi daratan.
Pulau tersebut adalah Pulau C, D, G, dan N. Pulau C dan D digarap oleh pengembang PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group; Pulau G digarap PT Muara Wisesa Samudra sebagai anak perusahaan PT Agung Podomoro Group; dan Pulau N digarap oleh PT Pelindo II yang menjadi Pelabuhan Kalibaru atau New Tajung Priok.
Empat pulau lain yang telah mengantongi izin pelaksanaan sehingga pengembang boleh mulai menimbun tanah di lokasi tersebut adalah F, H, I, dan K. Pulau F dipegang oleh PT Jakarta Propertindo, Pulau H dikembangkan oleh PT Taman Harapan Indah, dan Pulau I serta K dikerjakan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.
Untuk pulau sisanya –A, B, E, J, L, M, O, P, dan Q– belum bisa mulai dikembangkan karena masih memegang izin prinsip.
(agk)