Jakarta, CNN Indonesia -- Penggusuran secara paksa di Ibu Kota semakin masif dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Terlebih menjelang pemilihan kepala daerah pada 2017 mendatang. Kasus terbaru terjadi di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, penggusuran paksa merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia. Sesuai Konferensi Pemukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, komunitas internasional telah mengakui penggusuran paksa sebagai persoalan serius.
Namun, Indonesia belum menganggap penggusuran paksa sebagai pelanggaran berat HAM, selain genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal menurutnya, penggusuran paksa menyebabkan orang menjadi tunawisma, kehilangan rasa aman, terisolasi dari komunitasnya, kerugian ekonomi, materi, psikologis, bahkan hilangnya nyawa manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alghiffari menyebutkan, Ahok telah melakukan penggusuran paksa sebanyak 113 kasus sepanjang 2015. Penggusuran itu merugikan 8315 kepala keluarga dan 6000 unit usaha. Sementara, data penggusuran tahun ini belum bisa dirilis LBH.
Dia mengatakan, sebanyak 84 persen penggusuran dilakukan secara sepihak. Sedangkan 76 persen penggusuran paksa dilakukan tanpa solusi yang layak. Rumah susun yang disediakan pemerintah malah menambah masalah baru.
"Warga keberatan dalam membayar uang bulanan di Rusun, seperti uang air, listrik, sewa Rusun, akhirnya kebutuhan hidup semakin bertambah dan mereka terancam diusir," kata Alghiffari.
Budayawan Benny Susetyo mengatakan, Rusun bukan pilihan terbaik bagi masyarakat miskin yang tinggal di pemukiman kumuh. Tradisi mereka tidak dibangun di lingkungan seperti yang disediakan dalam Rusun. Dia lebih sepakat dengan ide Joko Widodo saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pemukiman kumuh ditata menjadi kampung deret, bukan direlokasi ke Rusun.
"Menata kampung kumuh adalah pilihan terbaik daripada menggusur. Bukannya mematikan kehidupan, sejarah dan mata pencaharian orang miskin," kata Benny.
Sementara Peneliti Institute Ecosoc, Sri Palupi mengatakan, selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki kebijakan pengendalian tanah dan ruang. Baginya, hal itu merupakan unsur kesengajaan dari praktik pelanggaran berat HAM.
"Tanah dan ruang dikuasai oleh pemodal. Pemerintah tidak menjamin kelompok miskin mendapat hak atas tempat tinggal. Dia bukan pemimpin sebenarnya, dia pelayan para developer," kata Palupi.
(bag)