Jakarta, CNN Indonesia -- Replika pesawat XT-400 menancap di atas tugu yang terpancang di Bundaran Kompleks Pusat Teknologi Penerbangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pesawat angkut ringan itu didesain oleh Suharto, lulusan Institut Teknologi Bandung dan Universitas Teknologi Braunschweig Jerman yang bekerja sebagai staf teknik dan tenaga ahli di PT Chandra Dirgantara –semula bernama Komando Pelaksana Proyek Industri Penerbangan (Kopelapip) di masa pemerintahan Presiden Sukarno.
Lapan membanggakan Experimental Transport-400 itu sebagai “Pesawat terbang pertama Indonesia yang dirancang oleh para peneliti Lapan tahun 1977-1978 melalui proyek Sainkon.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sainkon akronim dari Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara. Lewat proyek tersebut, Lapan ingin mengembangkan pesawat perintis dengan kemampuan operasi di landasan pendek untuk mengangkut penumpang di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Untuk itu Lapan di bawah Departemen Riset dan Teknologi menggandeng Suharto dan PT Chandra Dirgantara yang telah punya pengalaman dan sukses membuat pesawat latih Lipnur Trainer-200 untuk Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (Lipnur) pada 1975.
“Saya punya rancangan, idenya saya tawarkan. Karena Lipnur saat itu sudah tutup (pintu), saya ke Pak Jacob Salatun yang waktu itu Ketua Lapan. Ide saya diterima Pak Salatun, maka jadi proyek Lapan,” kata Suharto kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Jumat (8/3).
XT-400 sampai pada tahap pembuatan maket kayu berskala penuh
(full-scale wooden mock-up) saat proyek itu mendadak dihentikan usai pergantian menteri akhir 1978.
“Ketika tahu Lapan membuat XT-400, Lapan dipanggil oleh Menteri Ristek Habibie. Yang dipanggil bukan Pak Salatun, tapi (Wakil Ketua Lapan) Profesor Wiranto Arismunandar. Saat dia dipanggil, saya juga ikut menghadap,” kisah Suharto.
Saat itulah mereka diberi tahu tak bisa melanjutkan pembuatan XT-400. “Katanya membuat pesawat terbang itu sukar, maka harus oleh orang-orang yang ahli. Ya sudah, kami mau bagaimana lagi?” kata Suharto yang bersahabat dengan Nurtanio Pringgoadisurjo –perintis industri penerbangan Indonesia.
Padahal, ujar Suharto, proyek XT-400 sudah disetujui oleh Menristek Sumitro Djojohadikusumo yang menjabat sebelumnya. Pun pendanaan disediakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang waktu itu diketuai Widjojo Nitisastro. Biaya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Artinya XT-400 proyek negara. Tak pelak penghentian XT-400 saat pembuatannya telah mencapai 50 persen mengecewakan Lapan. Namun Suharto tak kaget.
“Sebelumnya, LT-200 (buatan saya) juga dihentikan. Jadi saya tidak terlalu terkejut XT-400 mengalami nasib serupa. Saya hanya ingin Indonesia punya pesawat bagus dengan dana sesuai,” kata Suharto yang sempat setahun bekerja di pabrik pesawat Hamburger Flugzeugnau –kemudian berganti nama menjadi Messerschmitt-Bölkow-Blohm– di Hamburg, Jerman. Di pabrik itu pula BJ Habibie sempat menimba pengalaman.
 Miniatur pesawat XT-400 buatan Suharto terpancang di tugu Bundaran Kompleks Pusat Penerbangan Lapan. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
XT-400 rancangan Suharto akhirnya ditempatkan sebagai bagian dari riset dan pengembangan, dan 37 tahun setelah pembuatan pesawat itu dihentikan, 2015, Suharto dikukuhkan sebagai perintis riset dan pengembangan penerbangan Lapan.
Jika XT-400 dihentikan pada tahap
full-scale wooden mock-up alias mati sebelum lahir, LT-200 yang dibuat Suharto di PT Chandra Dirgantara untuk Lipnur bahkan disetop pada tahap prototipe terbang alias sudah lahir.
“Nasib LT-200 kurang baik. Sudah jadi empat pesawat, mau dipakai (berlatih terbang) di Curug, bahkan salah satu negara di Afrika mau pesan, tapi dilarang diteruskan pembuatannya,” ujar Suharto.
Padahal, kata pria 83 tahun yang kini mengajar di Fakultas Teknologi Kedirgantaraan Teknik Aeronautika Universitas Suryadarma Jakarta itu, LT-200 diproduksi untuk Lipnur di bawah Angkatan Udara RI.
Namun perubahan Lipnur menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) membuat kebijakan turut berganti dan proyek dipindah ke lisensi CASA
(Construcciones Aeronáuticas SA) –produsen pesawat Spanyol.
“Kalau LT-200 dibuat dengan memodifikasi
design-kit Lasdilao Pazmany asal Amerika Serikat yang dibeli seharga US$200 dan royalti US$500, IPTN merakit pesawat dengan mengambil lisensi CASA Spanyol bermodal puluhan juga Dolar,” kata Suharto.
Dua kasus penghentian proyek pesawatnya membuat Suharto menyimpulkan ada kerancuan dalam membangun industri pesawat terbang pada masa itu.
“Lapan mestinya untuk riset industri pesawat terbang seperti NASA
(National Aeronautics and Space Administration) di Amerika Serikat, sementara IPTN ialah manufaktur yang membuat pesawat seperti Boeing di AS,” kata dia.
Namun kala itu kedua hal tersebut masih rancu. Pada 1978, tak hanya proyek XT-400 yang dihentikan. Unit Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara Lapan juga dihapus. Semua program pengembangan pesawat terbang diambil alih IPTN.
PunakawanSuharto sampai saat ini masih merancang berbagai jenis pesawat, termasuk
drone. Kegemarannya akan pesawat terbang tak terbendung meski dua proyeknya disetop. Ia mengatakan terinspirasi almarhum Nurtanio, seniornya di industri penerbangan.
“Saya mengikuti apa yang dilakukan Pak Nurtanio, yaitu membuat dari yang sudah ada untuk menghemat tenaga dan biaya. Jadi saya ambil (beli) satu
design-kit, lalu membuat pesawat berdasarkan gambar-gambar itu,” ujar Suharto.
Tahun 1955 saat Suharto masih berkuliah di Institut Teknologi Bandung, ia kerap menyambangi hanggar kecil Nurtanio yang tak jauh dari indekosnya. Suharto melihat dari dekat, mencermati betul waktu Nurtanio dan timnya membuat Sikumbang –pesawat pertama karya Indonesia yang seluruhnya terbuat dari logam.
 Sikumbang, pesawat tempur antigerilya buatan Nurtanio Pringgoadisurjo. (CNN Indonesia/Prima Gumilang) |
Bukan cuma Nurtanio yang dikenal Suharto, tapi juga dua sahabat kental sang perwira Angkatan Udara: Wiweko Soepono mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, dan Jacob Salatun pendiri Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Nurtanio sendiri merupakan pendiri Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) –cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia. Lapip dahulu ada di bawah Angkatan Udara Republik Indonesia.
Nurtanio, Wiweko, dan Salatun dikenal luas sebagai tiga sekawan di AURI. Mereka punya hobi sama sejak kecil: membaca majalah kedirgantaraan berbahasa Belanda,
Vliegwereld, dan bergabung dengan klub pencinta penerbangan.
Nurtanio-Wiweko-Salatun pun memiliki visi serupa, bahwa kemandirian bangsa dalam industri penerbangan adalah mutlak.
“Kalau Nurtanio membuat pesawat terbang, Wiweko lebih ke operasionalisasi –bagaimana mengoperasikan pesawat terbang secara ekonomis, Salatun meminati luar angkasa. Otak mereka hebat,” kata Suharto.
Lelaki yang seluruh rambutnya telah memutih itu ingat, tiap hari Minggu ia kerap ikut terbang bersama pesawat kecil Wiweko, berputar-putar di atas Bandung.
Maret 1966, Suharto diantar pulang dari Bandung ke Jakarta dengan Cessna 180 yang diterbangkan sendiri oleh Nurtanio, hanya sehari sebelum Nurtanio tewas dalam kecelakaan uji pesawat.
“Mereka generasi di atas saya. Saya ‘adik’ mereka. Kami senang membuat pesawat terbang. Saya sangat dipengaruhi jalan pikiran mereka,” kata Suharto yang 10 tahun lebih muda dari Nurtanio.
LT-200 yang dibuat Suharto pada 1976, 10 tahun setelah Nurtanio wafat, pun diniatkan sebagai kelanjutan pesawat Gelatik –program alih teknologi produksi pesawat terbang dengan lisensi Polandia di masa Nurtanio menjabat Direktur Lapip– yang produksinya berakhir pada 1975 saat pesawat itu telah mencapai 44 unit.
Memasuki usia senja, Suharto kerap menghabiskan waktu bersama Wiweko dan Salatun. Mereka sering bertemu di rumah Salatun di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
“Tiga orang itu, Nurtanio-Wiweko-Salatun, dari dulu berteman. Saya ikut saja sebagai punakawan (abdi pengiring),” kata Suharto, menerawang mengenang ketiga sahabatnya yang telah tiada.
Salah seorang rekan Suharto pemerhati penerbangan, Willem JP, menyebutnya sebagai
man behind the history.
“Dia merancang pesawat yang tidak disorot oleh negara. Sejarah tak membuatnya tampil.”
(agk)