Jakarta, CNN Indonesia -- Bagio Utomo dongkol. Mantan anggota Skadron Teknik 042 itu tak bisa menahan amarah jika mengingat kerja timnya pada 1970 ‘menjagal’ jet pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Uni Soviet. Padahal Tu-16 merupakan pesawat canggih yang membuat Angkatan Udara Republik Indonesia ditakuti dunia di era 1960-an.
Memiliki Tu-16 kala itu membuat Indonesia menjadi negara keempat di jagat yang mengoperasikan jet pengebom setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet. Tu-16 pula salah satu alasan Belanda takluk terhadap Indonesia pada konfrontasi atas Irian Barat.
Namun, kata Bagio, “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-Bird dari Amerika.”
Semua itu, ujar Bagio kepada
Angkasa, hanya karena perkara politik. Hubungan erat Indonesia-Uni Soviet pada masa Sukarno, langsung berubah saat Suharto berkuasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebelum 1965, Angkatan Udara Indonesia sangat kuat dan amat disegani di Asia Tenggara, bahkan Asia. Pada masa Soeharto, Angkatan Udara menjadi anak tiri dan Angkatan Darat dinomorsatukan,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/3).
Erlangga Suryadarma, putra Kepala Staf Angkatan Udara pertama RI Marsekal Suryadi Suryadarma, mengisahkan betapa ayahnya tertekan dan kerap linglung pada akhir hidupnya melihat kondisi Angkatan Udara yang bak jatuh ke jurang.
“G30S membuat dia ‘mati.’ AURI saat itu betul-betul jadi korban karena pro-Bung Karno. Setengah mati bangun Angkatan Udara, hancur begitu saja. Semua dihabisi,” ujar Erlangga.
KSAU Marsekal Omar Dhani bahkan divonis hukuman mati –yang di kemudian hari diubah menjadi penjara seumur hidup– oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atas tuduhan makar.
Gerakan 30 September 1965 yang disusul pergantian rezim jadi biang keladi kehancuran AURI pada masa itu. Pidato Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto saat mengangkat jenazah enam jenderal dan satu prajurit AD dan dari Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 1965, seketika membuat AURI remuk.
“Jenderal-jenderal kita telah menjadi korban kebiadaban dari petualang yang dinamakan Gerakan 30 September. Kalau melihat daerah ini, ada di kawasan Lubang Buaya. Daerah Lubang Buaya termasuk Lapangan Halim. Dekat sumur ini telah menjadi pusat latihan dari sukwan (sukarelawan) dan sukwati yang dilaksanakan Angkatan Udara. Mereka melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani,” kata Soeharto.
“Tidak mungkin oknum-oknum Angkatan Udara tidak ada hubungan dengan peristiwa ini... Saya berharap anggota patriot Angkatan Udara membersihkan anggota Angkatan Udara yang terlibat petualangan ini,” ujar Soeharto.
Api kebencian terhadap AURI sontak menyala. “Halim dianggap sebagai sarang G30S. Maka pada masa selanjutnya ini menjadi stigma AU,” kata Asvi.
Saat Suharto resmi berkuasa, AURI makin dikebiri. Banyak pesawatnya dilarang terbang dan pabrik roket ditutup. Angkatan Udara yang di masa Sukarno menjadi kekuatan tempur menggentarkan, praktis kehilangan daya.
Meluruskan sejarahMalam jahanam G30S membuat AURI memasuki masa kelam. Politik merasuk, merusak. Angkatan Udara yang pernah jaya, jadi bulan-bulanan.
Dalam buku
Menguak Misteri Sejarah, Asvi bercerita betapa mobil para personel Angkatan Udara ditabrak jip-jip Resimen Para Komando Angkatan Darat. Istri-istri anggota AURI yang berbelanja di pasar di luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pun ikut diejek.
Jauh sebelum itu, KSAU Suryadi Suryadarma selalu mengingatkan agar Angkatan Bersenjata menjaga jarak dengan urusan politik. Suryadarma menyadari bahaya politik bagi militer sudah sejak Indonesia belum merdeka, saat dia masih bersekolah di Akademi Militer Kerajaan Belanda.
Oleh sebab itu Suryadarma menolak dwifungsi di tubuh Angkatan Bersenjata untuk mencegah makar dari dalam pemerintahan. Dwifungsi ini antara lain melingkupi perwakilan militer di parlemen, dan penempatan tokoh militer pada posisi penting institusi pelayanan publik.
Sikap Suryadarma itu bertentangan dengan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution yang berpendapat militer harus punya wakil di badan legislatif. Nasution, sejak awal Indonesia merdeka, ingin agar militer dilibatkan dalam percaturan politik.
Dwifungsi yang ditentang Suryadarma menguat ketika dia tak lagi menjabat sebagai KSAU, menjalar ke tiap matra.
Dipinggirkan selama 30 tahun lebih, Angkatan Udara memecah hening. Mereka bergerak meluruskan sejarah. Buku
Menyingkap Kabut Halim 1965 diterbitkan tahun 2000 atas prakarsa Perhimpunan Purnawirawan AURI.
Buku itu misalnya membantah ucapan Soeharto 35 tahun sebelumnya yang menyebut Halim bagian dari daerah Lubang Buaya. Basis G30S di Lubang Buaya, menurut penjelasan buku tersebut, merupakan sebuah desa di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma yang berjarak 3,5 kilometer dari Markas Komando Operasi Halim.
Tudingan keterlibatan KSAU Omar Dhani dalam G30S juga dibantah dalam buku itu.
Menyingkap Kabut Halim 1965 menegaskan, selama 16 tahun dipimpin Suryadi Suryadarma, AURI tak berpolitik. Sementara Omar Dhani selaku penerus Suryadarma tak melakukan apapun selain “Berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno tanpa
reserve.”
 KSAU Omar Dhani terkena dampak pergolakan politik di akhir masa pemerintahan Sukarno. (Wikimedia) |
Omar Dhani jadi korban karena sehari sesudah G30S, dia mengeluarkan Perintah Harian yang mengesankan AURI mendukung G30S.
Perintah Harian Omar Dhani berbunyi, “Gerakan 30 September untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan pemimpin besar revolusi terhadap subversi oleh CIA. Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat dari anasir-anasir yang didalangi subversif asing dan membahayakan revolusi. Angkatan Udara sebagai alat revolusi selalu menyokong tiap gerakan yang progresif revolusioner.”
Omar Dhani terperosok karena salah sangka. Dia mengira G30S sekadar konflik internal Angkatan Darat.
Upaya Angkatan Udara meluruskan sejarah dinilai Asvi berhasil, terbukti dengan ditunjuknya KSAU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI dan kemudian Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Asvi berkata, “Rekonsiliasi (di tubuh TNI) sudah berlangsung. Stigma atas AU sudah habis terkikis.”
Kini setelah hantu masa lalu berhasil dihalau, Angkatan Udara Republik Indonesia ditantang untuk membangun kembali armada mereka.
(agk)