Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Senin (18/4), memfasilitasi penyelenggaraan Simposium Nasional bertajuk 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan'.
Simposium tersebut melibatkan berbagai unsur masyarakat, baik dari Komnas HAM, Dewan Pers, institusi pendidikan tinggi hingga lembaga dan pegiat HAM.
Beberapa hari sebelum penyelenggaraan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) bersikukuh menolak simposium itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lembaga masyarakat sipil itu menyatakan, pengungkapan kebenaran atau penegakan hukum atas pelanggaran HAM masa lalu harus lebih dulu berjalan dibandingkan upaya rekonsiliasi.
Kontras menilai, logika penyelenggara simposium terbalik. Tanpa penegakan hukum, rekonsiliasi tak dapat berjalan. Alasannya, korban tidak tahu harus menerima dan memberikan maaf kepada siapa.
Di sisi lain, sejumlah pegiat HAM yang selama ini mengadvokasi komunitas korban justru melibatkan diri dan bersedia memaparkan kajian mereka atas Tragedi 1965.
Sejarawan senior Asvi Warman Adam misalnya, berkata mendukung rekonsiliasi yang diwacanakan simposium. Namun ia menegaskan, kehadirannya tidak berarti ia menolak proses hukum terhadap pelanggar HAM.
"Saya setuju rehabilitasi tapi saya juga mendukung pengungkapan kebenaran," kata Asvi kepada CNNIndonesia.com. Pada simposium, Asvi akan berbicara tentang dinamika politik jelang Tragedi 1965.
Tak hanya Asvi, CNNIndonesia.com telah mendapatkan konfirmasi beberapa pegiat HAM terkait kehadiran mereka pada simposium. Salah satunya adalah advokat senior sekaligus jaksa International People's Tribunal 1965, Todung Mulya Lubis.
"Saya akan hadir," ucapnya. Todung akan menjadi pembicara pada sesi yang sama dengan Asvi, Senin ini, pukul 11.00 WIB.
Direktur Asia Justice and Rights, Galuh Wandita, turut membenarkan partisipasinya pada simposium.
Galuh yang sebelumnya menjadi anggota panel diskusi Tragedi 1965 di Ubud Writers and Readers Festival. Diskusi itu dikecam dan didemo beberapa kelompok masyarakat.
Putu Oka Sukanta Sastrawan sekaligus anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dipenjara atas tuduhan terlibat dengan Partai Komunis Indonesia juga akan menjadi pembicara pada simposium.
Panitia memperkirakan, sekitar 200 orang dari kalangan pegiat HAM, korban serta lembaga keagamaan akan menghadiri simposium.
Di antara tamu undangan, terdapat pula mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yakni Kiki Syahnakri dan Sayidiman Suryohadiprojo.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, kepada CNNIndonesia.com, juga menyebut Try Sutrisno sebagai salah satu undangan.
Try merupakan mantan Panglima ABRI (kini TNI) dan Wakil Presiden. Saat memimpin angkatan bersenjata, Try disebut terlibat pada kasus pelanggaran HAM Talangsari.
Namun, Sidarto menegaskan, para mantan jenderal itu hadir bukan sebagai representasi institusi militer. Ia berkata, mereka hadir atas nama pribadi masing-masing.
Ketua Panitia Pengarah simposium, Agus Widjojo, mengatakan forum itu akan menghasilkan sejumlah rekomendasi penyelesaian Tragedi 1965 untuk pemerintah.
Menurutnya, dialog-dialog pada simposium itu akan membuka fakta-fakta baru terkait Tragedi 1965. Meski demikian, ia tidak dapat menjamin pemerintah akan menjalankan rekomendasi simposium.
"Itu sepenuhnya tergantung pemerintah," kata dia.
(yul)