Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga terduga anggota kelompok teror, Siyono, mendesak Polri menindaklanjuti kasus kematian anggota keluarga mereka itu ke ranah hukum pidana.
Tim pembela kemanusiaan kasus kematian Siyono, selaku kuasa hukum keluarga, telah mengirim surat ke Markas Besar Polri terkait permintaan tersebut, Senin (18/4) kemarin.
"Kami sudah kirim surat kepada Kapolri dengan tembusan ke Presiden, Menko Polhukam, Komisi III DPR, Komnas HAM, dan Komisi Kepolisian Nasional," ujar ketua tim kuasa hukum keluarga Siyono, Trisno Raharjo, Selasa (18/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trisno menuturkan, kepolisian hingga saat ini belum mengarahkan kasus kematian Siyono ke hukum pidana. Menurutnya, Polri hanya mengusut dugaan pelanggaran kode etik yang dituduhkan kepada sejumlah anggota Datasemen Khusus 88 Antiteror.
"Kami meminta, ada atau tidaknya putusan etik, kasus ini harus segera ditindaklanjuti sebagai suatu perkara pidana," ucapnya.
Trisno berkata, desakan itu diberdasarkan pada bukti forensik yang menyatakan Siyono tewas saat berada dalam kendali personel kepolisian.
Siang tadi, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menggelar sidang pendahuluan kode etik yang ditujukan kepada anggota Densus 88. Mereka diduga menyalagi prosedur saat menangkap Siyono, Februari lalu.
Pada sidang itu, sepuluh orang saksi memberikan keterangan terkait kronologi serta prosedur penangkapan dan pengawalan Siyono.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Agus Rianto mengatakan, sepuluh saksi itu antara lain Kapolres Klaten AKBP Faizal; Mardiyo, ayahanda Siyono; dokter Polri serta beberapa anggota Densus 88 yang bertugas pada operasi penangkapan Siyono.
Seluruh saksi tersebut telah mengisi Berita Acara Pemeriksaan di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri.
Menurut Trisno, Mardiyo enggan memberikan keterangan dalam sidang tersebut karena tidak diizinkan didampingi oleh pengacaranya saat pemeriksaan.
"Pak Mardiyo bersedia memberikan keterangan jika didampingi. Dia takut dimintai hal yang aneh-aneh seperti diminta menandatangani sesuatu yang tidak jelas," ujar Trisno.
(abm)