Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia dan Filipina masih terus mengusahakan upaya perundingan untuk membebaskan 10 warga negara Indonesia yang diculik kelompok sipil bersenjata, Abu Sayyaf, di Filipina bagian selatan.
Operasi militer bukanlah opsi untuk menyelamatkan para sandera yang berprofesi sebagai anak buah kapal tersebut.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan kembali hal itu usai bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah Filipina tak merencanakan serangan karena takut jatuh korban banyak," ucapnya di Jakarta, Rabu (20/4).
Kalla mengatakan, pemerintah Indonesia setuju dengan rencana Filipina. Apalagi, menurutnya, Filipina masih kooperatif terkait rencana pembebasan para sandera
"Kami juga minta (kalaupun ada serangan militer) jangan di daerah yang diperkirakan ada sandera," ujarnya.
Luhut sebelumnya mengaku terus memantau perkembangan pembayaran tebusan untuk 10 warga negara Indonesia tersebut. Ia menyatakan, perusahaan asal awak kapal, PT Patria Maritime Lines, akan membayar tebusan senilai 50 juta peso atau setara Rp15 miliar.
"Tebusan untuk 10 orang itu sedang difinalisasi oleh perusahaan. Ditunggu saja," kata Luhut di Universitas Indonesia, siang tadi.
Menurut Luhut, dari laporan sambungan telepon yang diterimanya kemarin, para sandera dalam keadaan sehat.
Sepuluh orang yang disandera merupakan awak kapal tongkang Anand 12 dan Brahma 12 yang membawa 7 ribu ton batu bara dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menuju Filipina.
Kapal itu bertolak pada 15 Maret dan kemudian dibajak Abu Sayyaf di perairan Sulu pada 27 Maret lalu.
15 April lalu, Abu Sayyaf disebut kembali menyandera empat WNI lain. Mereka adalah awak kapal tunda TB Henry dan tongkang Crista yang yang sedang dalam pelayaran dari Cebu, Filipina menuju Tarakan, Kalimantan Utara.
Pemerintah menyatakan, masih mengidentifikasi motif penyanderaan empat WNI tersebut, berkaitan dengan politik atau sekedar mendapatkan tebusan.
(abm)