Setinggi-tingginya Fahri Melompat Akhirnya Parpol Juga

Hafizd Mukti | CNN Indonesia
Kamis, 28 Apr 2016 17:15 WIB
Fahri menggugat perdata PKS atas pemecatannya. Namun, melihat aturan main, PKS memiliki hak untuk melakukan pemecatan dan pergantian pemain di parlemen.
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah memberikan keterangan pers di Nusantara 3 Gedung DPR, Jakarta, Senin, 4 April 2016. Majelis Tahkim Partai Keadilan Sejahtera telah memutuskan memberhentikan Fahri Hamzah dari semua jenjang keanggotaan partai sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) PKS. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Fahri Hamzah, kemarin (27/4) menghadapi sidang perdana gugatan atas pemecatan yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtrera (PKS). Hasil persidangan yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini memberikan batas 27 Mei 2016 agar Fahri dan PKS melakukan mediasi, sebelum masuk materi gugatan.

Fahri memang berharap langkah mediasi menjadi jalan terbaik agar keputusan pemecatan bisa ditarik oleh partai berideologi Islam itu. Di sisi lain, PKS mengaku siap menghadapi gugatan perdata Wakil Ketua DPR RI tersebut.

Fahri adalah pejabat publik. Ia dibayar untuk itu dan mengabdi atas dasar keterpilihannya di Pemilihan Umum Legislatif periode 2014-2019 daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, pemecatan atau istilah Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota dewan, berbeda dengan porsi Pelaksana Tugas (Plt) yang berada di jajaran eksekutif. Sebut contoh terkait kepala daerah.
Fahri merupakan anggota DPR RI, bahkan di level pimpinan parlemen, keduanya sama-sama dengan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun, kemudian kuasa atas keduanya berada di wilayah yang berbeda.

Keduanya adalah sama-sama wakil rakyat. Fahri dipilih rakyat, namun kuasa atas dirinya ditangan partai, alias perpanjangan partai di parlemen. Sedangkan kepala daerah dipilih rakyat dengan kuasa penuh milik rakyat, dan pemakzulan jadi hak rakyat yang memilihnya sewaktu pemilihan umum. Meski memang tidak sesederhana itu melakukan impeach.

Payung hukum dari keduanya pun berbeda. Jika kepala daerah merujuk pada UU Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Fahri berada di bawah payung hukum UU MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3), dengan isi jelas berbeda.

UU MD3 tidak memberikan sedikitpun ruang bagi calon anggota parlemen yang berasal dari non partai, sangat berbeda dengan UU Pilkada yang kini tengah direvisi DPR. UU Pilkada membuka ruang bagi calon independen.
Sehingga, parpol dalam hal ini PKS menjadi kendaraan Fahri untuk berkiprah di DPR.

Jika politik adalah sebuah perjalanan, maka parpol adalah kereta satu-satunya yang tersedia untuk berpolitik di parlemen. Jarak perjalanan adalah 2014-2019, namun di jarak 2016, Fahri diturunkan dari kendaraan oleh masinis si empunya kereta, yaitu PKS.

Keduanya ngotot, namun kereta harus terus berjalan. Fahri dan PKS sama-sama punya dalil untuk menggugat.

Fahri berpendapat, statusnya sebagai pimpinan parlemen saat ini tidak bisa diganggu. Argumen yang dia mengandalkan merujuk Pasal 87 ayat 2 huruf (c) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3).
Pasal itu menyebutkan, pimpinan DPR diberhentikan apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

"Kalau pemecatan sudah punya kekuatan hukum tetap, baru boleh diganti," kata Fahri.

Namun PKS berbekal amunisi lebih banyak. Sama-sama menggunakan UU MD3, PKS merujuk Pasal 87 ayat 2 huruf (d), (e) dan (g), juga ayat 4. Dua pasal dan turunannya, memberikan kewenangan penuh partai melakukan pergantian wakilnya di parlemen.

Bahkan, PKS telah menunjuk pengganti Fahri di kursi pimpinan, Leida Hanifah. Upaya hukum yang diambil Fahri yang kemudian menghambat pergantiannya. PKS memang tidak merinci detail, di mana saja posisi kesalahan Fahri, meski menjelaskan secara general mengenai sikap dan perkataan Fahri yang sering kali bertolak belakang dengan sikap partai.
PKS cenderung melakukan pemecatan sepihak dan tertutup, namun itu tidak bisa disalahkan, karena UU memberikan ruang partai untuk melakukan itu. Bahkan si terpecat pun diberikan ruang menggugat.

Meski sebenarnya terdampak langsung adalah konstituen Fahri yang memberikan tiket baginya naik kendaraan PKS di parlemen. Namun secara gagal logika konstituen tidak diberikan kewenangan sama sekali menggugat keputusan PKS si pemilik kereta, tidak seperti yang terjadi di jabatan kepala daerah.

Tidak ada yang salah atau melanggar konstitusi, tapi memang aturan main ini saya yakin sudah sangat dimengerti Fahri, hingga risiko paling buruk. Jika kemudian, perlu pembenahan aturan main, maka parlemen yang memegang peluit pengaturan ulang.

Namun, setuju tidak setuju, mau tidak mau, apapun yang terjadi dengan Fahri Hamzah, tidak bisa membuat kendaraan dan proses politik berhenti, karena partai politik telah diatur menjadi satu-satunya kendaraan bagi mereka yang ingin berkarier sebagai legislator.
Sehingga sulit memahami anggota dewan dikatakan sebagai wakil rakyat, saat garis komando secara penuh di tangan partai tanpa sedikitpun keterlibatan konstituen, kecuali sehari saja keterlibatan rakyat, yaitu saat pemilu lima tahunan sekali. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER