Mei 1998, Perempuan Tionghoa Cuma Bisa Berdoa

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Kamis, 19 Mei 2016 19:05 WIB
Pelaku kekerasan seksual berkeliling dan memilah dulu calon korbannya sebelum beraksi. Mereka yang pribumi dilepas, yang beretnis Tionghoa diperkosa.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perempuan Tionghoa jadi sasaran pelaku kekerasan sepanjang kerusuhan merebak pertengahan Mei 1998. Mereka hanya bisa berdoa, tanpa bisa berbuat banyak untuk melindungi diri.

“Tiap lihat orang kumpul-kumpul di jalanan, rasanya khawatir, takut. Membuat kami ingin cepat-cepat sampai di rumah,” ujar Nancy Widjaja, seorang perempuan Tionghoa, saat ditemui CNNIndonesia.com di Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/5).

Gerombolan pria di jalan memang paling Nancy takuti kala itu, dan hal tersebut kerap ia temui di masa huru-hara. Menurutnya, pelaku kekerasan seksual biasa berkelompok, tak seorang diri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ancaman terhadap keselamatannya, ditambah aksi penjarahan dan pembakaran yang merajalela di ibu kota, membuatnya dilanda kengerian.
Tak sekali Nancy mendengar kekerasan seksual menimpa perempuan Tionghoa sepertinya. Bau sentimen antirasial menyebar pekat di udara.

“Cerita menyebar tanpa menyebut nama korban. Mereka cenderung tertutup dan tak mau bercerita detail,” ujar Nancy.

Tragedi Mei 1998 jelas kenangan pahit yang ingin dikubur dalam-dalam oleh para perempuan Tionghoa. Banyak dari mereka yang jadi korban memilih bungkam, pindah ke luar negeri, dan mengubah identitas untuk memulihkan kondisi psikologis.

Nancy merasa amat beruntung, sebab tak ada anggota keluarganya yang jadi korban kekerasan seksual. Waktu itu Nancy memutuskan untuk berdiam di rumah, juga melarang anak-anaknya keluar rumah.

Memilah korban

Aktivis perempuan Andy Yentriyani mengatakan, sebagian besar korban kekerasan seksual pada Mei 1998 memang beretnis Tionghoa atau berparas mirip Tionghoa. Menurutnya, pelaku jelas memilah dulu calon korbannya, apakah dia beretnis Tionghoa atau pribumi.

Secara acak, para pelaku berkeliling di jalanan, bus, hingga pertokoan untuk mencari korban. Mereka yang pribumi, kata Andy, menarik napas lega karena tak jadi korban. Sementara mereka yang beretnis Tionghoa hanya bisa pasrah menerima perlakuan kejam dari pelaku kekerasan.

“Ada yang hampir mengalami pemerkosaan tapi tidak jadi karena dia ternyata orang Manado yang parasnya mirip Tionghoa. Akhirnya dia dilepaskan dan selamat,” ucap Andy.

Ketika perempuan daerah yang disangka Tionghoa itu hendak diperkosa, ujar Andy, mereka sontak bicara dalam bahasa adatnya untuk meyakinkan pelaku.
Para perempuan Tionghoa yang jadi korban mengalami trauma tak terbatas yang sulit dipulihkan. Alih-alih mengungkapkan apa yang terjadi, mereka lebih sering mengalami depresi hingga gangguan jiwa.

Meski mendapat pendampingan dari dokter atau psikolog, para korban tetap memilih pergi ke luar negeri, membentuk keluarga baru, dan melupakan peristiwa yang terjadi.

Korban kekerasan seksual saat itu beragam, mulai pelajar, mahasiswa, karyawan, hingga ibu rumah tangga. Banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan di dalam taksi hingga pinggir jalan.

Andy heran dengan ketidakhadiran aparat pemerkosaan marak terjadi. Padahal sebelum demonstrasi di Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswanya, pasukan pengamanan menyebar hampir di seluruh titik ibu kota.

Namun dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, kata dia, nyaris tidak ada petugas keamanan berjaga, membiarkan warga berjuang bertahan hidup sendiri.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER