Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Masinton Pasaribu berpendapat, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Indonesia Soeharto terganjal Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Masinton berkata, Tap MPR itu lahir karena suasana mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan rezim orde baru Soeharto selama 30 tahun.
"Masa orang bermasalah diberikan gelar pahlawan? Saat itu MPR menyatakan Soeharto harus diadili," kata Masinton di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 menyebutkan, Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.
Selain itu, Anggota Komisi Hukum DPR ini juga menyebutkan Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pasal 25 beleid itu mengatur, seseorang berhak mendapatkan gelar pahlawan nasional yaitu, WNI atau seseorang yang berjuang di Indonesia, berintegritas, dan berjasa terhadap bangsa.
Selain itu, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.
Alpa Fakta HukumPolitikus Partai Golkar Roem Kono berpendapat, belum terbukti dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme Soeharto, salah satu pendiri Partai Golkar, selama 32 tahun memimpin Indonesia.
"Fakta hukum kan belum ada. Bung Karno tetap jadi pahlawan nasional dan proklamator Indonesia," ujar Roem.
Kekuasaan Presiden pertama Indonesia Soekarno sempat dicabut melalui TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967, karena dituduh mendukung G30S/PKI. Pasal 6 beleid itu menyebut, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto diserahkan tanggung jawab melakukan proses hukum secara adil untuk membuktikan kebenaran dugaan pengkhianatan Presiden Soekarno itu.
Namun, hal itu tidak pernah dilaksanakan sampai Presiden Soekarno wafat tanggal 21 Juni 1970. Melalui TAP MPR No I Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002, TAP MPRS No XXXIII Tahun 1967 dinyatakan telah tidak berlaku lagi.
Senada, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai Pasal 4 TAP MPR tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme otomatis gugur sejak jaksa agung mengelurakan surat keputusan penghentian kepada Soeharto pada 2006.
Kejaksaan tidak berhasil menghadirkan Soeharto sebagai terdakwa karena dalam keadaan sakit permanen, tidak dapat dipulihkan seperti semula.
"Kan tidak pernah terbukti juga. Saya kira TAP MPR ada yang jangka panjang dan temporary. Pak Harto nya saja sudah tidak ada," ucap Fadli.
Wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional selalu muncul setiap tahun, terutama jelang Hari Reformasi. Kali ini muncul kembali setelah Partai Golkar menjadikannya sebagai salah satu rekomendasi Musyawarah Nasional Luar Biasa.
(pit)