Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones menyarankan pemerintah Indonesia untuk tidak khawatir atau sampai merasa fobia pada kemunculan komunisme. Pendapatnya itu merupakan tanggapan atas penyitaan buku yang dianggap menyebarluaskan komunisme di sejumlah daerah belakangan ini.
"Di Indonesia tidak ada gerakan komunis, untuk apa harus takut? Apalagi sampai ada pelarangan buku dan pemutaran filmnya," ujar Sidney dalam diskusi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tangerang, Senin (23/5).
Menurut Sidney, isu komunisme sengaja dibangun kelompok tertentu untuk menanggulangi isu pengungkapan pelanggaran HAM di sekitar tahun 1965.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sidney berkata, pemerintah Indonesia semestinya meluruskan sejarah terkait peristiwa itu. "Mungkin yang ditakutkan, yaitu ide-ide rekonsiliasi masa lalu," tuturnya.
AntidemokrasiPelarangan dan penyitaan buku, kata Sidney, merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Ia berujar, sikap-sikap itu masih dipelihara oleh sejumlah organisasi masyarakat intoleran.
Dalam penelitiannya yang berjudul
Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani Indonesia, Sidney menemukan sejumlah ormas yang menerapkan ide antidemokrasi untuk menunjukkan kekuatan mereka.
Sydney mencontohkan aksi main hakim sendiri dan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang dilakukan Front Pembela Islam.
Alih-alih membubarkan organisasi tersebut, menurut Sidney, yang perlu dilakukan adalah memutus hubungan aktor negara dengan kelompok tersebut. Menurutnya, penguatan pluralisme juga dapat menekan sikap antidemokrasi yang dipelihara sejumlah kelompok.
Peneliti terorisme di kawasan Asia Tenggara ini memaparkan, kontrol sosial yang dilakukan pemerintah Orde Baru tidak dapat diberlakukan kembali karena sistem itu sebenarnya juga tidak menjamin pluralisme.
Pada era itu, kata Sidney, sikap antidemokrasi justru terjadi lebih massif, terutama diskriminasi terhadap masyarakat beretnis Tionghoa.
"Toleransi saat itu adalah sesuatu yang berlangsung selektif. Indonesia harus mencari metode baru untuk mengajarkan toleransi dalam negeri yang dinamis dan bebas. Tentunya tanpa mengurangi hak-hak politik dan sipil," tuturnya.
(abm)